Kamis, 15 September 2011

DISPENSASI PUASA

Allah SWT memang telah menetapkan dan mewajibkan puasa kepada seluruh umat Islam, khususnya yang telah memenuhi syarat, seperti baligh, berakal dan lainnya, tetapi Tuhan juga memberikan keringanan atau dispensasi bagi orang-orang tertentu untuk tidak menjalankan puasa di bulan suci Ramadlan. Dispensasi memang diperlukan bagi mereka yang diperkirakan akan mendapatkan kesulitan, manakala tetap menjalankan puasa. Kebijakan seperti ini sudah menjadi semacam konvensi tidak tertulis, baik dalam peraturan yang dibuat oleh mamnusia maupun paraturan yang dibuat langsung oleh Allah SWT.

Sebagaimana dalam ibadah lainnya, seperti shalat, zakat, haji, dan lainnya, ibadah puasa juga mengenal dispensasi atau keringanan untuk tidak menjalankan puasa, karena ada alasan yang dibenarkan oleh syara’. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat ke 184 Tuhan sendiri telah memberikan penjelasan bahwa bagi orang yang sedang menderita sakit atau sedang bepergian, maka bolehlah meninggalkan puasa dengan konsekwensi mengantinya di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkannya. Demikian juga ada dispensasi khusus bagi mereka yang memang berat menjalankan puasa karena usia atau sakit yang berat dan sulit diharapkan kesembuhannya, untuk tidak puasa hanya saja mereka menggantikannya dengan fidyah atau memberikan makan kepada fakir miskin.

Memang dalam ayat tersebut banyak penafsiran yang dapat kit abaca dari para ulama, tetapi yang jelas, bahwa maksud dari sakit yang diperbolehkan meninggalkan puasa ial;ah sakit yang akan mengganggu puasa, seperti dianjurkan oleh dokter untuk tidak berpuasa dahulu, atau sakit yang kalau dipaksakan berpuasa malah akan menambah sakit yang dideritanya, atau sakit sakit lainnya yang tidak memungkinkan berpuasa. Jadi dengan demikian kalau hanya sakit yang tidak akan terganggu dengan puasa, tentu tidak termasuk yang diberikan dispensasi, misalnya sakit kepala biasa, sakit batuk, sakit mata, luka dan lainnya.

Sementara itu untuk ukuran safar atau bepergian, juga terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, tetapi yang perlu diketahui ialah bepergian yang didalamnya juga diberikan dispensasi dalam hal shalat. Kebanyakan ulama memang menganut madzhab Syafi’i yang mensyaratkan jarak tempuh harus melebihi 83 km, walaupun kalau dihitung jarak ketika Nabi melakukan shalat dengan dispensasi ketika di Arafah ternyata tidak sejauh itu. Demikian juga para ulama memberikan persyaratan bahwa perjalanan tersebut untuk tujuan yang b aik, dan bukan tujuan maksiat, serta dispensasi tersebut diberikan pada saat perjalanan tersebut sudah benar-benar dijalankan, dan bukan sebelumnya.

Meskipun dispensasi tersebut diberikan oleh Tuhan kepada umat yang sedang menjalankan puasa, tetapi kalau umat tersebut mampu untuk melaksanakan puasa, tentu hal tersebut dianggap lebih baik. Artinya kalau pada saat ini kita pergi dari Semarang menuju Jakarta dengan naik pesawat, tentu kita tetap akan mendapatkan dispensasi tersebut, tetapi karena perjalanan dengan pesawat tersebut tidak memerlukan banyak eneregi dan bahkan sangat nyaman, maka akan lebih baik kita tetap menjalankan puasa ketimbang mengambil dispensasi tersebut.

Sementara itu untuk dispensasi yang tidak diwajibkan mengganti puasa di hari lain, yakni hanya cukup dengan menggantinya dengan fidyah atau tebusan memberi makan fakir dan miskin, hanya semata diperuntukkan bagi mereka yang secara lahir tidak akan mampu berpuasa dan tidak aka nada kesempatan menggantinya dihari lain, seperti orang renta yang tidaka akan mungkin bisa kembali menjadi muda lagi, atau orang yang sakit parah dan menurut perkiraan dokter tidak akan dapat bertahan hidup lama dan lain orang yang mempunyai kondisi seperti itu.

Itulah beberapa dispensasi yang secara langsung diberikan oleh Allah SWT. Namun demikian ternyata dispensasi tersebut juga diberikan oleh para ulama dengan alas an yang sangat kuat, misalnya dispensasi yang diberikan kepada perempuan yang sedamng hamil atau sedang menyusui. Tentu ketentuan tersebut tidak mutlak, melainkan dalam batas-batas tertentu, seperti perempuan hamil yang khawatir dengan kesehatan dan keselamatan bayi yang dikandungnya, dengan pertimbangan dokter ahli. Demikian juga bagi perempuan yang menyusui harus ada pertimbangan khusus, karena khawatir terhadap pertumbuhan bayinya.

Nah, untuk dispensasi yang diberikan kepada perempuan yang sedang hamil ataupun menyusui tersebut didasarkan atas kebutuhan pihak lain, yakni anak yang sedang membutuhkan ibunya dalam kondisi prima, dan kalau dipaksakan puasa, sangat dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan anak tersebut, baik secara fisik maupun kecerdasan. Dengan alas an tersebutlah para ulama kemudian memberikan dispensasi kepada mereka untuk tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan. Namun demikian mereka tetap wajib menggantikannya di hari lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya. Bahkan para ulama memberikan persyaratan lagi yakni dengan memberikan fidyah, yakni member makan kepada fakir dan miskin.

Kenapa para ulama berani memberikan dispensasi kepada mereka yang sedang hamil dan menyusui, tentu dengan pertimbangan yang sangat matang. Kekhawatiran akan keselamatan anak merupakan salatu hal yang menjadi alasan utamanya. Pada prinsipnya dalam perintah menjalan puasa tersebut bukan untuk menyengsarakan ataupun membahayakan siapun, tetapi justru dalam upaya untuk menjadikan orang yang berpuasa tersebut menjadi lebih baik, alias menjadi orang yang muttaqin dalam arti yang sesungguhnya. Sedangkan kalau membiarkan orang berpuasa, tetapi ada pihak yang harus menanggung akibat kurang baik, tentu hal tersebut harus dihindari.

Semua itu juga didasarkan atas ketentuan Tuhan yang memberikan penjelasan bagi kita bahwa dalam menentukan perintah puasa dan pemberian dispensasi tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada semua pihak. Dalam al-Baqarah ayatke 185, Tuhan bahkan dengan jelas mengatakan “ Allah menghendaki kepada kalian semua, kemudahan dan sama sekali tidak menghendaki kesusahan”. Artinya pemberian dispensasi yang disampaikan oleh para ulama kepada perempuan yang sedang mengandung dan menyusui tersebut dalam upaya memberikan kemudahan kepada semua pihak, termasuk perempuan. Sebab seandainya dispensasi tersebut tidak diberikan, niscaya aka nada beberpa pihak yang menjadi atau mengalami kesulitan. Dan hal tersebut sama sekali tidak dikehendaki oleh Tuhan.

Memang ada yang salah faham dengan dispensasi yang satu ini, yakni karena ada fidyah atau tebusan yang harus dilakukan oleh perempuan hamil atau menyusui, maka mereka kemudian dibebaskan dari kewajiban mengganti puasa tersebut. Salah faham tersebut terutama dialami oleh banyak perempuan di beberapa daerah yang memang mendapatkan pengetahuan seperti itu. Untuk itu menurut saya perlu ada pencerahan yang intensif untuk menjelaskan persoalan ini. Karena bagi siapapun juga yang ada k4esempatan untuk mengganti puasa dikesmpatan lain dalam kondisi normal, maka wajib bagi dia untuk segera menunaikan penggantian puasa tersebut, tapa ada pengecualian.

Sesungguhnya masih ada bentuk dispensasi lagi yang diberikan kepada orang yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan. Tetapi bentuk dispensasi yang satu ini tidak dapat diambil dan dilakukan oleh setiap orang, melainkan hanya khusus kepada orang-orang tertentu saja yang memang dikehendaki oleh Tuhan. Dispensasi yang satu ini memang sangat berbeda, yakni diperbolehkannya makan dan minum di siang hari bulan Ramadlan, dengan catatan yang bersangkutan memang benar-benar lupa bahwa dirinya sedang menjalankan ibadah puasa. Jadi dispensasi ini hanya untuk orang yang diberikan anugrah berupa lupa, dan bukan pura-pura lupa. Artinya meskipun orang yang sedang berpuasa itu sempat makan dan minum bnayk hingga kenyang, kemudian beberapa saat kemudian baru menyadari bahwa disinya sedang berpuasa, maka hal tersebut tidak akan membatalkan puasanya dan dianggaplah sebagai dispensasi atau rizki yang memang diberikan oleh Tuhan.

Demikianlah beberapa bentuk dispensasi bagi orang yang berpuasa. Semua itu bukan dalam arti untuk wajib dilakukan, terutama bagi yang sedang sakit dan bepergian, melainlkan hanya dispensasi. Kalau kemudian sekiranya orang yang mendapatkan dispensasi tersebut tetap mau menjalankan puasanya, maka hal tersebut dianggap lebih baik bagi dirinya, karena dia tidak menyia-nyiakan bulan suci ini dengan menggantinya di bulan lain. Tentu kita semua tahu dan sangat paham bahwa melakukan amalan di bulan Ramadlan ini nilai pahalanya akan jauh dan lebih besar dibandingkan dengan bulan lainnya.

Untuk itu kita tetap berusaha secara maksimal bahwa selama memungkinkan untuk menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini, kita akan upayakan menjalankannya secara konsisten, terkecuali memang tidak memungkinkan. Semoga usaha yang kita lakukan untuk mempertahankan puasa di bulan ini, meskipun ada dispensasi untuk meninggalkannya, akan mendapatkan pujian dari Tuhan dan sekaligus mendapatkan balasan pahala yang berlipat ganda. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar