Sabtu, 08 Oktober 2011

Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita

Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif. 1. Hadits Yang Diterima (Maqbul) Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua): 1. 1. Hadits Shahih 1. 1. 1. Definisi: Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah: Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah: Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran. 1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih: Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini: • Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’ • Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya • Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits. • Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits) • Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya. 1. 2. Hadits Hasan 1.2.1. Definisi Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini: Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan: Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan. At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan. Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya. Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah. Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya. Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. 1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan Hasan Lidzatih Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat. Di antara contoh hadits ini adalah: لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat Hadits Hasan lighairih Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain. Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif. Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal: أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز "Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya. Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi. Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul). Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain. * * * 2. Hadits Mardud (Tertolak) Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak. Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah. 2.1 Definisi: Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum. 2.2. Penyebab Tertolak Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu: 2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena: • Dusta (hadits maudlu) • Tertuduh dusta (hadits matruk) • Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal • Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal • Menyalahi riwayat orang kepercayaan • Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham) • Penganut Bid’ah (hadits mardud) • Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith) 2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung • Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq • Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal • Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal • Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’ 2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’ Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya 2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain. Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya). Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem. Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW: Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim) Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu). Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah. Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat. Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain: 1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya. 2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah. 3. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu. Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak.

Read more at: http://bluezone69.blogspot.com/2010/01/klasifikasi-hadits-berdasarkan-pada.html
Copy-paste from http://bluezone69.blogspot.com protected by FIKRI SHARE
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif. 1. Hadits Yang Diterima (Maqbul) Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua): 1. 1. Hadits Shahih 1. 1. 1. Definisi: Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah: Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah: Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran. 1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih: Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini: • Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’ • Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya • Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits. • Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits) • Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya. 1. 2. Hadits Hasan 1.2.1. Definisi Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini: Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan: Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan. At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan. Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya. Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah. Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya. Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. 1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan Hasan Lidzatih Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat. Di antara contoh hadits ini adalah: لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat Hadits Hasan lighairih Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain. Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif. Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal: أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز "Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya. Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi. Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul). Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain. * * * 2. Hadits Mardud (Tertolak) Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak. Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah. 2.1 Definisi: Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum. 2.2. Penyebab Tertolak Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu: 2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena: • Dusta (hadits maudlu) • Tertuduh dusta (hadits matruk) • Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal • Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal • Menyalahi riwayat orang kepercayaan • Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham) • Penganut Bid’ah (hadits mardud) • Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith) 2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung • Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq • Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal • Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal • Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’ 2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’ Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya 2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain. Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya). Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem. Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW: Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim) Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu). Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah. Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat. Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain: 1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya. 2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah. 3. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu. Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak.

Read more at: http://bluezone69.blogspot.com/2010/01/klasifikasi-hadits-berdasarkan-pada.html
Copy-paste from http://bluezone69.blogspot.com protected by FIKRI SHARE
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif. 1. Hadits Yang Diterima (Maqbul) Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua): 1. 1. Hadits Shahih 1. 1. 1. Definisi:

Read more at: http://bluezone69.blogspot.com/2010/01/klasifikasi-hadits-berdasarkan-pada.html
Copy-paste from http://bluezone69.blogspot.com protected by FIKRI SHARE

Minggu, 02 Oktober 2011

SIFAT KASIH SAYANG TUHAN

Ketika kita berbicara tentang sifat-sifat Tuhan tentu harus dengan penuh kesadaran bahwa sifat Tuhan tersebut mutlak dan tidak terbatas. Begitu juga sifat kasih dan sayang-Nya, harus kita asumskan sebagai kasih sayang yang tidak terbatas. Artinya meskipun para makhluk Tuhan bisa mempunyai sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki Tuhan, namun sangat berbeda; kalau sifat Tuhan itu mutlak, sementara sifat makhluk Tuhan itu sangat terbatas. Kasih sayang yang dimiliki oleh makhluk Tuhan, termasuk manusia tentu dibatsi oleh kepentingan, situasi dan kondisi yang melingkupinya. Bahkan dalam keyakinan umat Islam, kasih sayang Tuhan itu mencakup ketika di dunia ini dan juga ketika nanti di alam kelanggengan, akhirat.

Kata kasih dan sayang terkadang diungkapkan secara bersamaan dan menerus menjadi kasih sayang yang mempunyai mempunyai satu makna. Namun terkadang juga penggunaaannya dipisahkan dan mempunyaikontasi sendiri-sendiri. Dalam bahasa Arab, padanan kata-kata kasih dan sayang tersbeut juga sering diartikan sama oleh umat, padahal sesungguhnya ada perbedaan nayata diantara keduanya. Kasihbiasanya dijadikan arti darimawaddah sedangkan untuk kata sayang biasanya digunakan untuk memberikan arti rahmah.

Kasih itu merupakan sifat baik yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain disebabkan adanya sesuatu yang menjadikannya mengasihi, dan biasanya hanya untuk sementara saja, dan pada saatnya akan dapat hilang bersama dengan perubahan yang terjadi, baik pada diri orang yang dikasihi maupun orang yang mengasihi sendiri. Misalnya seseorang mengasihi orang lain yang berjenis kelamin berbeda karena dia menginginkan untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup, dan bahkan setelah hidup berdampingan sebagai suami isteri juga masih mengasihi, karena masih cantik, menarik dan cerdas, misalnya.

Tetapi sesuai dengan keterbatasan sifat kasih tersebut, sewaktu-waktu sifat tersebut akan dapat hilang bersamaan dengan hilangnya sesuatu yang menjadikannya mengisihi tersebut. Dalam hal contoh tersebut ialah sifat kasih akan dapat hilang bersamaan hilangnya kecantikan, atau ketertarikan, atau bahkan sudah sangat lamban dan lainnya. Atau juga dapat disebabkan adanya ketertarikan orang yang mengasihi tersebut kepada orang lain atau timbulnya kebosanan pihak yang mengasihi dan sejenisnya, sehingga sifat kasih tersebut akan pelan-pelan menjadi luntur dan bahkan hilang sama sekali.

Untuk itu sifat kasih tersebut, kalau dihubungkan dengan sifat manusia, maka harus digandengkan dengan sifat sayang yang bermakna lain. Mengapa demikian? Ya, karena kalalu tidak digandengkan, maka akan sering terjadi bebagai persoalan dalam membina kehidupan rumah tangga. Untuk itu kita dapat melihat dan menyaksikan bahwa Tuhan juga menggandengkan kedua sifat tersebut untuk kehidupan manusia agar terbina keluarga yang langgeng dan tercipta ketenangan. Kata mawaddah danrahmah digandengkan oleh Tuhan dalam memberikan sifat kepada manusia, dengan tujuan agar manusia dapat mempertahankan sifat tersebut di dalam kehidupannya, terutama dalam membina rumah tangga yang tenang dan tenteram.

Sebagaimana kita katahui bahwa banyak umat Islam yang tidak membedakan atau menganggap sama antara kedua sifat tersebut, yang secara substansial sesungguhnya mengandung makna berbeda, sehingga dalam menerjemahkan kata-kata tersebut dalam keseharian, umat selalu menganggap sama. Akibatnya banyak yang kemudian tidak dapat menghayati hakekat dan makna keduanya, sebagaimana dimaksudkan sendiri oleh Tuhan.

Kata sayang sesungguhnya mempunyai makna yang lebih luas dari hanya sekedar kasih. Sifat sayang tersebut relative dapat bertahan lama, karena dasar keluarnya sifat tersebut bkan semata-mata kepentingan sebagaimana dalam sifat kasih, melainkan diletar-belakangi olehkeinginan untuk mempertahankan sesuatu dan kesadaran yang tinggi atas tanggung jawab dan juga keyakinan yang kuat. Sehingga dengan demikian sifat sayang tersebut tidak akan mudah hilang danluntur, tetapi justru malah semakin kuat seiring dengan kesadaran yang ada.

Kalau kemudian kondisi ini dimanifestasikan dalam kehidupan keluarga sebagaimana disebutkan dalam surat al-Rum ayat 21, yang maksudnya "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan isteri-isteri untuk kamu dari jenismu sendiri, supaya kamu supaya kamu cenderung (tenang) dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadkannya diantara kamu kasih dan sayang. Sesungghnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir", maka dapat digambarkan sebagai berikut.

Sifat kasih tersebut akan muncul ketika untuk pertama kalinya umat manusia menikah untuk membina rumah tangga, karena banyak gambaran dan harapan yang dapat dirajut mereka. Artinya pasangan yang baru menikah tersebut tentu akan saling mangasihi, karena masih sangat membutuhkan, termasuk dalam persoalan biologis. Masing-masing pasangan tersebut saling mengasihi karena ketertarikan dalam persoalan fisik, seperti wajah yang cantik atau tampan, atau bahkan karena kemampuan salah satu pihak dalam hal financial ataupun cara bergaul dan lainnya. Tetapi kalau yang ada hanya sifat kasih saja, maka pada saat salah satu pasangan mengalami penyusutan, baik dalam hal kecantikan atau ketampanan, dalam hal kekayaan, dan dalam hal kemampuan untuk memberikan pelayanan, tentu sifat kasih tersebut akan menghilang.

Kalau hal tersebut dibiarkan, tentu akan menjadi sumber ketidak harmonisan sebuah rumah tangga, dan akan mengantarkan rumah tangga tersebut ke gerbang perceraian. Untuk itulah sifat kasih tersebut harus digandengkan dengan sifat sayang yang akan membuat pasangan suami isteri tersebut tetap mempertahankan rumah tangganya. Gambaran sfat sayang tersebut ialah tercermin dalam ketulusan dan keikhlasan yang ditunjukkan dalam berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan untuk mempertahankan rumah tangga. Artinya, meskipun pasangan tersebut tidak muda lagi, tetapi keharminisan akan tetap terbina dengan baik. Kalutoh salah satu pasangan tersebut tampak memudar, baik kecantikan atau harta atau kemampuan untuk melayani, maka justru pasangan lainnya akan memberikan support dan terus mendampingi dengan segala sifat sayangnya.

Untuk lebih jelasnya, kalau diandaikan salah satu pasangan tersebut mengalami kecelakaan sehingga menghilangkan salah satu fungsi dalam kehidupan rumah tangga, maka bukannya kemudian ditinggalkan dan di"undat-undat" kelemahannya tersebut, melainkan justru terus diberikan support agar terus percaya diri dan tidak rendah diri yang akan mengakibatkan ketidak harmonisan hubungan diantara keduanya. Jadi sifat sayang dapat dipastikan akan selalu dibarengai dengan sikap dapat mengerti dan bahkan mau berkorban demi menjaga keutuhan sebuah cita-cita yang dirancang bersama.

Sehingga dengan demikian penggandengan sifat kasih dan sayang tersebut dikandung maksud bahwa semua orang itu harus dapat mempertimbangkan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Semua manusia harus menyadari dan sekaligus mau menjalankan kehidupan yang terkadang suka dan terkadang duka. Kalau pada saat pasngannya dalam rumah tangga sangat menarik dan menggairahkan, maka hal harus diterimanya sebagai kondisi suka, dan pada saat pasangannya tampak kurang menarik dan kurang menggairahkan, juga harus tetap memperhatikannya dan memberikan support agar tetap bersikap mesra, dan bukannya malah berpaling dan mencari pasangan lain. Itulah sifat sayang yang mampu mengendalikan diri dari jeratan nafsu, dan lebih mementingkan keutuhan sebuah keinginan bersama, serta mau berkorban.

Nah, kalau kemudian kita hubungkan kasih sayang tersebut dengan Tuhan, tentu, disamping kita harus mengartiannya sebagai sifat yang tidak terbatas sebagaimana tersebut di atas, maka secara umum dapat dikelompokkan kepada dua hal, yakni kasih Tuhan dan sayang Tuhan. Kasih Tuhan akan diberikan kepada siapa saja, termasuk mereka yang membangkang terhadap perintah-Nya dan tidak mau mengakui keagungan dan kekuasaan-Nya. Kasih Tuhan tersebut diberikan kepada seluruh makhluk-Nya pada saat berada di dunia ini. Semua makhluk ketika bedara di dunia ini diberikan kasih oleh Tuhan berupa kenikmatan yang begitu luas dan besar, walaupun tentu tidak semuanya sama. Bukti dari kasih Tuhan tersebut ialah semua makhluk termasuk yang kafir, tetap diberikan nikmat, baik berupa fisik, kesehatan, kekayaan, kemampuan, dan lainnya, bahkan terkadang tampak bahwa nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada orang kafir, terutama dalam hal kekayaan, terasa lebih dibandingkan kepada umat Islam.

Namun sesungguhnya umat Islam tidak perlu khawatir bahwa justru nikmat Tuhan yang paling berharga ialah nikmat iman dan ketaqwaan yang kita miliki dan tidak dimiliki oleh orng kafir. Jadi kita harus tetap berhusnudzdzan bahwa Tuhan tetap memberikan yang lebih kepada umat Islam, meskipun Tuhan dalam memberikan kasih-Nya tersebut merata kepada semua makhluk, dan bukan hanya terbatas kepada yang beriman saja.

Sementara itu sifat sayang Tuhan itu hanya diperuntukkan bagi umat yang beriman dan tunduk kepada aturan Tuhan, baik yang dahulu maupun yang mengikuti kepada Nabi Muhammad SAW., khususnya pada saat mengalami kehidupan di akhirat nanti Artinya pada saat di alam kelanggengan akhirat nanti, sifat sayang Tuhan tersebut hanya dikhususkan bagi mereka yang beriman dan taat saja, yakni dengan diberikannya tempat yang sangat nyaman dan penuh dengan kenikmatan, yakni surga.

Dengan demikian sifat kasih Tuhan itu lebih luas dan diberikan kepada siapa saja, termasuk yang tidak beriman dan membangkang, sedangkan sifat sayang Tuhan hany diperuntukkan bagi umat yang beriman dan taat, pada saat mereka nanti berada di akhirat, yakni disurga yang dijanjikan itu. Semoga kita semua nantinya akan dapat menikmati seluruh kasih dan juga sayang Tuhan, sehingga kita akan termasuk makhluk yang paling beruntung. Amin.

TASYAKURAN HAJI

Bulan ini barangkali merupakan bulan yang sangat sibuk, terutama pada hari Sabtu dan Ahad, bahkan di selain dua hari tersebut juga termasuk di dalamnya. Bulan Syawwal ini semua orang sangat maklum, kalau kemudian hamper semua komponen, mulai dari RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota hingga propinsi bahkan Negara, semuanya mengadakan aktifitas halal bi halal. Itupun tidak hanya satu kegiatan saja, karena setiap organisasi dan semua perkumpulan, apapun namanya juga melakukannya, sehingga kalau kemudian harus mendatangi seluruh undangan, tentu tidak akan mampu.

Belum lagi kegiatan halal bi halal tuntas, sudah disambung lagi dengan kegiatan tasyakuran hajji yang juga menyita waktu. Disamping tasyakuran yang sifatnya massal, namun juga tasyakuran yang sifatnya individual. Semuanya tentu mengharapkan dihadiri oleh mereka yang diundang. Kegiatan semacam itu memang sangat efektif untuk menyambung tali silaturrahim diantara umat Islam dan juga umat lainnya, namun kalau terlalu banyak, bahkan hamper setiap hari, tentu juga akan sedikit mengganggu pekerjaan lain yang menanti untuk disentuh dan diselesaikan.

Untuk itu memang dibutuhkan menejemen waktu agar kegiatan tesebut tidak menjadi kendala bagi pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawab kita. Kita harus pandai mengatur waktu dan sekaligus menentukan skala prioritas terhadap kegiatan sermonial seperti itu. Ada kalanya memang harus kita datangi, tetapi ada juga yang terpaksa harus meminta maaf tidak bisa menghadirinya. Tentu semua itu harus dilakukan dengan cara yang baik, sehingga tidak akan menyinggung perasaan dan menjadikan kecewa kepada yang mengundang.

Tasyakuran itu sendiri memang secara jelas dianjurkan oleh Allah SWT, meskipun bentuknya tidak dijelaskan secara rinci. Tetapi sudah menjadi semacam pengertian di masyarakat, bahwa tasyakuran itu identik dengan makan-makan. Dan itu sesunguhnya juga tidah salah, namun perlu diketahui juga bahwa untuk mengungkapkan rasa syukur tersebut ada beberapa tingkatan, mulai dari hanya sekedar mengucapkan puji-pujian kepada Tuhan, dengan mengcapkan "alhamdu lillah" misalnya, syukur dengan mengadakan walimahan dan mengundang tetangga serta umat sekitar, terlebih mengundang pada anak yatim dan fakir miskin, hingga bentuk tasyakuran yang paling tingi tingkatannya, ialah dengan sungguh sunguh melaksanakan perintah perintah Tuhan dan menjauh dari larangan-Nya.

Bagi yang pertama kali akan menunaikan ibadah hajji, tasyakuran dalam bentuk walimahan tersebut memang menjadi sebuah keniscayaan, karena kalau tidak dilaksanakan malahan bisa menjadi fitnah. Sebagaimana kita maklumi bahwa masyarakat kita sudah kadung mengidentikkan tasyakuran dengan walimahan tersebut, sehingga kalau ada calon hajji yang tidak menadakan walimahan seperti itu malah akan menjadi bahan olok-olok dan gunjingan masyarakat sekitar. Untuk itulah mereka biasanya mengadakan tasyakuran secara individual seperti yang sekarang bisa kita saksikan.

Ketika berbicara mengenai masalah hajji dari sisi manapun, selalu saja akan menarik. Taruhlah dari sisi ghirah untuk melaksanakannya, ada sebagian orang yang berusaha berangkat hajji setiap tahun dengan berbagai cara, tetapi ada juga yang sama sekali tidak tertarik untuk melaksanakannya, baik karena ada rasa takut, rasa kurang pantas dan alasan lainnya. Namun secara umum hajji memang sangat diminati oleh umat Islam, termasuk mereka yang secara finansial kurang atau bahkan tidak cukup. Sementara ada juga yang berusaha memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, sehingga dapat melaksanakan hajji dengan gratis.

Melihat animo masyarakat untuk melaksanakan hajji seperti yang kita lhat saat ini, kiranya perlu pembatasan kepada masyarakat dalam melaksanakan hajji. Artinya bagi mereka yang sudah hajji dan tidak menjadi petugas, seyogjanya tidak diperbolehkan untuk berangkat dan mengutamakan kepada mereka yang sama sekali belum pernah. Pembatasan tersebut harus konsisten dilaksanakan, karena meskipun saat ini pembatasan tersebut sudah disuarakan dan bahkan ditentukan, namun dalam pelaksanaannya masih belum berjalan dan belum efektif.

Demikian juga bagi mereka yang mempunyai kewajiban sebagai abdi negara, seperti sebagai PNS misalnya, sangat perlu dibatasi untukmenunaikan hajji tersebut, karena pada kenyataannya hajji itu memerlukan waktu sekitar 40 hari, sehingga seorang PNS kalau menunaikan ibadah hajji harus cuti selama 40 hari lebih. Tentu hal tersebut akan sangat merugikan, manakala dilakukan setiap tahun. Bahkan kalau PNS tersebut adalah dosen yang pada aturannya tidak boleh cuti, tentu akan ada pihak yang dirugikan, termasuk mahasiswa yang seharusnya mendapatkan hak dari dosen tersebut untuk dibimbing dan diajar.

Tentu kita dapat memahami kalau hal tersebut untuk pelaksanaan hajji yang pertama, tetapi kalau untuk hajji yang kesekian kalinya, dan bahkan kalau hampir setiap tahun berangkat hajji, tentu akan menjadi sesuatu yang tidak bagus. Barangkali perlu ada semacam aturan yang berlaku secara nasional, bahwa seorang dosen aktif tidak boleh melaksanakan hajji lebih dari satu kali, terkecuali manakala memang ditugaskan secara resmi oleh pemerntah untuk membimbing jamaah hajji. Toh kita semua tahu bahwa kewajiban melaksanakan hajji adalah sekali dalam seumur hidup seseorang.

Jika kemudian kita hubungkan dengan kewajiban dan ukuran kinerja dosen dalam menjalankan tugasnya, maka dengan pelaksanaan hajji tersebut tentu akan banyak hal yang tidak terpenuhi. Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2009 tentang dosen, dengan jelas mengatur bahwa seorang dosen harus melaksanakan tugas mengajar/mendidik, meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat yang setara dengan minimal 12 sks dalam satu semester. Sedangkan dalam pelaksanaan pengajaran, dosen harus melaksanakan tatap muka dengan mahasiswa atau melalui media yang memungkinkan, sebanyak 16 kali pertemuan selama satu semester untuk 2 sks.

Dengan melihat aturan seperti itu, maka sangat tidak mungkin seorang dosen akan dapat melaksanakan kewajibannya ketika dia harus melaksanakan iabadah hajji, karena waktu yang disediakan oleh kalender akademik sangat terbatas. Sementara dipihak lain, pemerintah telah berusaha untuk memberikan tunjangan profesi atas kinerja dosen yang demikia baik. Nah, kalau kemudian kinerja tersebut tidak dapat dipenuhi, tentunya pemerintah dan rakyat pada hakekatnya ikut dirugikan. Solusi yang tepat ialah larangan kepada dosen untuk melaksanakan ibadah hajji untuk yang kedua dan seterusnya. Sebab kalau diberikan solusi lain, misalnya diberhentikan tunjangan yang melekat pada dosen, tentu juga akan menimbulkan persoalan yang lebih rumit.

Tentu seperti yang saya jelaskan di atas mengecualikan mereka yang baru pertama kali melaksanakan hajji dan mereka yang memang secara resmi diberikan tugas oleh negara untuk membimbing jamaah hajji. Menurut saya persoalan ini harus segera mendapatkan perhatian semua pihak, terutama kementerian agama, karena di kementerian lain barangkali tidak ada persoalan seperti itu. Setidaknya untuk pelaksanaan hajji tahun depan persoalan ini harus tuntas dan berlaku efektif bagi seluruh dosen.

Saya dapat memahami bahwa ketentuan seperti itu tentu akan medapatkan reaksi keras, terutama bagi mereka yang memang mempunyai kegiatan seperti itu setiap tahunnya, tetapi aturan seperti itu harus tetap diberlakukan untuk menegakkan kedisiplinan dan sekaligus mengoptimalkan dosen, khususnya dan PNS pada umumnya agar dapat melaksanakatugas sesuai dengan tanggung jawab yang memang dibebankan kepada mereka.

Tahun ini barangkali memang tahun terakhir untuk memberikan toleransi bagi mereka para dosen yang melakukan hajji berkali-kali bahkan hampir setiap tahun, baik karena alasan KBIH maupun alasan lainnya. Yang jelas kedisilinan pegawai negeri harus ditegakkan sesuai dengan PP 53 sebagaimana yang kita pahami bersama. Untuk mulai saat ini perlu ada sosialisasi kepada seluruh PNS, khususnya dosen, agar dapat direnungkan dan sekaligus diambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka. Saya sangat menghimbau dan menyarankan agar seluruh dosen IAIN Walisongo dapat melaksanakan tugas sebagaimana diatur dalam berbagai aturan, baik yang menyangkut khusus tentang dosen, maupun aturan umum yang berkenaan dengan pegawai negeri.

Kita mengiginkan bahwa seluruh PNS termasuk dosen dapat melaksanakan kinerja dengan sebaik baiknya disertai dengan disiplin tinggi dan tidak meninggalkan kewajiban dengan alasan apapun termasukibadah hajji, sehingga akan mendukung keseluruhan cita-cita kita menjadikan lembaga pendidikan yang kita berada di dalamnya ini maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan perguruan tinggi lain yang telah terlebih dahulu maju. Kerja keras dan disiplin merupakan syarat mutlak untuk tujuan mulai tersebut. Nah, dengan begitu disamping kita dapat menjalankan tugas dengan benar, juga sesungguhnya kita juga telah andil memberikan kesempatan bagi mereka yang belum berhajji untuk dapat segera menunakan rukun Islam kelima tersebut. Semoga Tuhan memberikan kelapangan dada dan pikiran serta kesadaran bagi kita semua. Amin.