Minggu, 02 Oktober 2011

TASYAKURAN HAJI

Bulan ini barangkali merupakan bulan yang sangat sibuk, terutama pada hari Sabtu dan Ahad, bahkan di selain dua hari tersebut juga termasuk di dalamnya. Bulan Syawwal ini semua orang sangat maklum, kalau kemudian hamper semua komponen, mulai dari RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota hingga propinsi bahkan Negara, semuanya mengadakan aktifitas halal bi halal. Itupun tidak hanya satu kegiatan saja, karena setiap organisasi dan semua perkumpulan, apapun namanya juga melakukannya, sehingga kalau kemudian harus mendatangi seluruh undangan, tentu tidak akan mampu.

Belum lagi kegiatan halal bi halal tuntas, sudah disambung lagi dengan kegiatan tasyakuran hajji yang juga menyita waktu. Disamping tasyakuran yang sifatnya massal, namun juga tasyakuran yang sifatnya individual. Semuanya tentu mengharapkan dihadiri oleh mereka yang diundang. Kegiatan semacam itu memang sangat efektif untuk menyambung tali silaturrahim diantara umat Islam dan juga umat lainnya, namun kalau terlalu banyak, bahkan hamper setiap hari, tentu juga akan sedikit mengganggu pekerjaan lain yang menanti untuk disentuh dan diselesaikan.

Untuk itu memang dibutuhkan menejemen waktu agar kegiatan tesebut tidak menjadi kendala bagi pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawab kita. Kita harus pandai mengatur waktu dan sekaligus menentukan skala prioritas terhadap kegiatan sermonial seperti itu. Ada kalanya memang harus kita datangi, tetapi ada juga yang terpaksa harus meminta maaf tidak bisa menghadirinya. Tentu semua itu harus dilakukan dengan cara yang baik, sehingga tidak akan menyinggung perasaan dan menjadikan kecewa kepada yang mengundang.

Tasyakuran itu sendiri memang secara jelas dianjurkan oleh Allah SWT, meskipun bentuknya tidak dijelaskan secara rinci. Tetapi sudah menjadi semacam pengertian di masyarakat, bahwa tasyakuran itu identik dengan makan-makan. Dan itu sesunguhnya juga tidah salah, namun perlu diketahui juga bahwa untuk mengungkapkan rasa syukur tersebut ada beberapa tingkatan, mulai dari hanya sekedar mengucapkan puji-pujian kepada Tuhan, dengan mengcapkan "alhamdu lillah" misalnya, syukur dengan mengadakan walimahan dan mengundang tetangga serta umat sekitar, terlebih mengundang pada anak yatim dan fakir miskin, hingga bentuk tasyakuran yang paling tingi tingkatannya, ialah dengan sungguh sunguh melaksanakan perintah perintah Tuhan dan menjauh dari larangan-Nya.

Bagi yang pertama kali akan menunaikan ibadah hajji, tasyakuran dalam bentuk walimahan tersebut memang menjadi sebuah keniscayaan, karena kalau tidak dilaksanakan malahan bisa menjadi fitnah. Sebagaimana kita maklumi bahwa masyarakat kita sudah kadung mengidentikkan tasyakuran dengan walimahan tersebut, sehingga kalau ada calon hajji yang tidak menadakan walimahan seperti itu malah akan menjadi bahan olok-olok dan gunjingan masyarakat sekitar. Untuk itulah mereka biasanya mengadakan tasyakuran secara individual seperti yang sekarang bisa kita saksikan.

Ketika berbicara mengenai masalah hajji dari sisi manapun, selalu saja akan menarik. Taruhlah dari sisi ghirah untuk melaksanakannya, ada sebagian orang yang berusaha berangkat hajji setiap tahun dengan berbagai cara, tetapi ada juga yang sama sekali tidak tertarik untuk melaksanakannya, baik karena ada rasa takut, rasa kurang pantas dan alasan lainnya. Namun secara umum hajji memang sangat diminati oleh umat Islam, termasuk mereka yang secara finansial kurang atau bahkan tidak cukup. Sementara ada juga yang berusaha memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, sehingga dapat melaksanakan hajji dengan gratis.

Melihat animo masyarakat untuk melaksanakan hajji seperti yang kita lhat saat ini, kiranya perlu pembatasan kepada masyarakat dalam melaksanakan hajji. Artinya bagi mereka yang sudah hajji dan tidak menjadi petugas, seyogjanya tidak diperbolehkan untuk berangkat dan mengutamakan kepada mereka yang sama sekali belum pernah. Pembatasan tersebut harus konsisten dilaksanakan, karena meskipun saat ini pembatasan tersebut sudah disuarakan dan bahkan ditentukan, namun dalam pelaksanaannya masih belum berjalan dan belum efektif.

Demikian juga bagi mereka yang mempunyai kewajiban sebagai abdi negara, seperti sebagai PNS misalnya, sangat perlu dibatasi untukmenunaikan hajji tersebut, karena pada kenyataannya hajji itu memerlukan waktu sekitar 40 hari, sehingga seorang PNS kalau menunaikan ibadah hajji harus cuti selama 40 hari lebih. Tentu hal tersebut akan sangat merugikan, manakala dilakukan setiap tahun. Bahkan kalau PNS tersebut adalah dosen yang pada aturannya tidak boleh cuti, tentu akan ada pihak yang dirugikan, termasuk mahasiswa yang seharusnya mendapatkan hak dari dosen tersebut untuk dibimbing dan diajar.

Tentu kita dapat memahami kalau hal tersebut untuk pelaksanaan hajji yang pertama, tetapi kalau untuk hajji yang kesekian kalinya, dan bahkan kalau hampir setiap tahun berangkat hajji, tentu akan menjadi sesuatu yang tidak bagus. Barangkali perlu ada semacam aturan yang berlaku secara nasional, bahwa seorang dosen aktif tidak boleh melaksanakan hajji lebih dari satu kali, terkecuali manakala memang ditugaskan secara resmi oleh pemerntah untuk membimbing jamaah hajji. Toh kita semua tahu bahwa kewajiban melaksanakan hajji adalah sekali dalam seumur hidup seseorang.

Jika kemudian kita hubungkan dengan kewajiban dan ukuran kinerja dosen dalam menjalankan tugasnya, maka dengan pelaksanaan hajji tersebut tentu akan banyak hal yang tidak terpenuhi. Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2009 tentang dosen, dengan jelas mengatur bahwa seorang dosen harus melaksanakan tugas mengajar/mendidik, meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat yang setara dengan minimal 12 sks dalam satu semester. Sedangkan dalam pelaksanaan pengajaran, dosen harus melaksanakan tatap muka dengan mahasiswa atau melalui media yang memungkinkan, sebanyak 16 kali pertemuan selama satu semester untuk 2 sks.

Dengan melihat aturan seperti itu, maka sangat tidak mungkin seorang dosen akan dapat melaksanakan kewajibannya ketika dia harus melaksanakan iabadah hajji, karena waktu yang disediakan oleh kalender akademik sangat terbatas. Sementara dipihak lain, pemerintah telah berusaha untuk memberikan tunjangan profesi atas kinerja dosen yang demikia baik. Nah, kalau kemudian kinerja tersebut tidak dapat dipenuhi, tentunya pemerintah dan rakyat pada hakekatnya ikut dirugikan. Solusi yang tepat ialah larangan kepada dosen untuk melaksanakan ibadah hajji untuk yang kedua dan seterusnya. Sebab kalau diberikan solusi lain, misalnya diberhentikan tunjangan yang melekat pada dosen, tentu juga akan menimbulkan persoalan yang lebih rumit.

Tentu seperti yang saya jelaskan di atas mengecualikan mereka yang baru pertama kali melaksanakan hajji dan mereka yang memang secara resmi diberikan tugas oleh negara untuk membimbing jamaah hajji. Menurut saya persoalan ini harus segera mendapatkan perhatian semua pihak, terutama kementerian agama, karena di kementerian lain barangkali tidak ada persoalan seperti itu. Setidaknya untuk pelaksanaan hajji tahun depan persoalan ini harus tuntas dan berlaku efektif bagi seluruh dosen.

Saya dapat memahami bahwa ketentuan seperti itu tentu akan medapatkan reaksi keras, terutama bagi mereka yang memang mempunyai kegiatan seperti itu setiap tahunnya, tetapi aturan seperti itu harus tetap diberlakukan untuk menegakkan kedisiplinan dan sekaligus mengoptimalkan dosen, khususnya dan PNS pada umumnya agar dapat melaksanakatugas sesuai dengan tanggung jawab yang memang dibebankan kepada mereka.

Tahun ini barangkali memang tahun terakhir untuk memberikan toleransi bagi mereka para dosen yang melakukan hajji berkali-kali bahkan hampir setiap tahun, baik karena alasan KBIH maupun alasan lainnya. Yang jelas kedisilinan pegawai negeri harus ditegakkan sesuai dengan PP 53 sebagaimana yang kita pahami bersama. Untuk mulai saat ini perlu ada sosialisasi kepada seluruh PNS, khususnya dosen, agar dapat direnungkan dan sekaligus diambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka. Saya sangat menghimbau dan menyarankan agar seluruh dosen IAIN Walisongo dapat melaksanakan tugas sebagaimana diatur dalam berbagai aturan, baik yang menyangkut khusus tentang dosen, maupun aturan umum yang berkenaan dengan pegawai negeri.

Kita mengiginkan bahwa seluruh PNS termasuk dosen dapat melaksanakan kinerja dengan sebaik baiknya disertai dengan disiplin tinggi dan tidak meninggalkan kewajiban dengan alasan apapun termasukibadah hajji, sehingga akan mendukung keseluruhan cita-cita kita menjadikan lembaga pendidikan yang kita berada di dalamnya ini maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan perguruan tinggi lain yang telah terlebih dahulu maju. Kerja keras dan disiplin merupakan syarat mutlak untuk tujuan mulai tersebut. Nah, dengan begitu disamping kita dapat menjalankan tugas dengan benar, juga sesungguhnya kita juga telah andil memberikan kesempatan bagi mereka yang belum berhajji untuk dapat segera menunakan rukun Islam kelima tersebut. Semoga Tuhan memberikan kelapangan dada dan pikiran serta kesadaran bagi kita semua. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar