Kamis, 15 September 2011

SABAR

Sering orang menasehati orang lain pada saat terjadinya suatu musibah, dengan kata sabar yang tentu maksudnya ialah agar yang bersangkutan tidak larut dalam kesedihan. Barangkali pernyataan demikian tidak salah, meskipun maksudnya tidak dapat dijelaskan secara detail, sebab terkadang kata sabar tersebut dimaknai yang sama sekali lain, yakni semisal alon-alon waton kelakon, atau dimknai tidak perlu tergesa-gesa, sabar, dan lainnya.

Mungkin beberapa konotasi sabar yang biasa diucapkan banyak orang tersebut semuanya benar dalam konteksnya masing-masing. Artinya, ketika seseorang sedang mendapatkan musibah kematian, misalnya, maka akan banyak orang memberikan nasehat kepada orang tersebut dengan kata-kata sabar, yang maksudnya ialah tabah dan tidak terlalu bersedih hati dalam menghadapi musibah tersebut. Namun pada saat seseorang mendengar suatu kabar yang sangat penting dan segera untuk diketahui dan bahkan ditemui, maka ketika ada orang menasehatinya dengan sabar, maka itu maksudnya ialah agar tidak tergesa-gesa dan hati-hati supaya selamat.

Lain pula kalau ada seseorang menyaksikan anak atau keluarganya melakukan hal nista yang sangat memalukan, misalnya, dan ia langsung emosi dan marah besar, maka ketika ada orang lain menasehatinya untuk bersabar, itu maksudnya ialah agar ia dapat menahan nafsu amarahnya dan berfikir jernih tenang akibat yang nanti akan dapat timbul, Bahkan ada konotasi makna sabar tersebut memang dimaksudkan untuk alon-alon waton klakon atau pelan-pelan asalkan dapat tercapai yang dimaksud, dan begitu seterusnya.

Memang kata sabar tersebut dapat bermakna banyak sesuai dengan konteks dan tujuannya, namun tidak semua makna sabar tersebut cocok dan sesuai dengan sabar yang banyak disebutkan dalam ajaran syariat. Karena sabar yang ada dalam ajaran Islam itu tentu tidak cenderung kepada kepasifan, melainkan sebaliknya cenderung kepada kesunguhan yang tidak menganal menyeerah.

Harus disadari bahwa dalam kenyataan sehari-hari kita masih dapat menyaksikan dan mendengarkan kata sabar tersebut diperuntukkan kepada sesuatu yang cenderung pasif Bahkan ada yang mengartikannya dengan sangat keterlaluan. Artinya dalam kenyataan sehari-hari terkadang ditemukan kata sabar tersebut digunakan dan dimaksudkan untuk membenarkan tindakan pasif dan pembiaran terhadap sesuatu yang seharusnya segera dilakukan, seperti terlalu berlebihannya kepasarahan seseorang terhadap ketentuan Tuhan, yang bahkan dapat digolongkan sebagai aliran jabariah. Sikap seperti ini ternyata masih ada disekitar kita, meskipun kadarnya tidak terlalu banyak.

Terkadang juga sabar tersebut digunakan untuk maksud kepasrahan yang mendekati kepus-asaan. Arinya ketika seseorang sedang menghadapi sebuat persoalan hidup berupa kegagalan demi kegagalan dalam usahanya, maka dia dinasehati untuk berabar yang dimaksudkan agar dia pasrah dan melupakan usaha tersebut. Nah, dengan nasehat seperti itu tentu akan menjadikan seseorang tersebut cenderung untuk pasif dan menyerah. Namun kalau kemudian ditambah dengan nasehat berkutnya, yaitu agar yang bersangkutan mencari alternatif lain yang memungkinkannya dapat berhasil, maka itu akan menjadi bermakna positif dan baik.

Secara teoritis, seharusnya kata sabar tersebut dikonotasikan kepada semua hal yang baik dan positif, karena kata sabar tersebut biasanya dipergunakan untuk menasehati orang yang sedang sedih, sedang tidak stabil emosinya, dan bahkan kata sabar tersebut merupakan salah satu sifat Tuhan, serta banyak sekali pujian Tuhan di dalam ayat-ayat al-Quran terhadap orang-orang yang menyandang predikat sabar. Oleh karena itu sangat tidak tepat kata sabar tersebut kemudian dibelokkan maknanya untuk hal-hal yang tidak baik. Artinya kita harus dapat mencari makna yang tepat bagi kata sabar tersebut, yaitu makna yang berkonotasi positif dan mengandung semangat pantang menyerah, bukannya pasrah, menyerah dan putus asa.

Makna positif sabar tersebut dapat dipraktekkan sehari-hari, baik pada saat sedang sedih karena suatu musibah maupun pada saat emosinya tidak stabil dan lainnya. Kita dapat mengambil contoh ketika sabar tersebut diterapkan kepada seseorang yang sedang menerima musibah, seperti kematian anak atau suami atau isteri, atau lainnya misalnya, maka sabar tersebut dimaksudkan agar orang dinasehati tetap tegar dan tidak berputus asa. Artinya pada saat menerima musibah tersebut, bersedih boleh saja, tetapi jangan sampai berlarut dan menimbulkan keputus-asaan yang hanya akan menyebabkan kesengsaraan semata.

Ketika seseorang ditinggalkan suami atau isterinya dan kemudian berselingkuh dengan pasangan lain, atau seorang isteri yang sering mendapatkan perlakuan kasar serta tidak manusiawi dari suaminya, dan semacamnya, maka sabar yang dialamatkan kepada orang tersebut tentunya untuk menahan diri dari kesedihan dan tabah dalam menghadapi cobaan tersebut. Kesabaran yang dimaksudkan untuk menenagkan seseorang tersebut akan lebih sempurna manakala dilanjutkan dengan saran untuk berusaha dan terus berusaha tanpa mengenal putus harapan.

Demikian pula dengan kejadian seseorang yang tidak lulus dalam ujian misalnya, maka ketika orang tua menasehati dengan kata sabar itu artinya, agar anak yang tidak lulus tersebut tetap mempunyai semangat untuk belajar yang lebih rajin sehingga pada saatnya nanti akan dapat lulus dan bahkan dengan nilai yang baik. Jangan sampai nasehat sabar yang diberikan kepada anak yang tidak lulus ujian tersebut hanya berhenti di kata sabar yang berkonotasi menyerah tanpa usaha lanjutan, dan begitu seterusnya.

Sesungguhnya Allah SWT beserta dan mencintai orang-orang yang sabar itu, tentunya sabar yang benar dan mengandung makna posuitif. Dalam menggambarkan sabar, Tuhan mengaitkannya dengan cobaan yang menimpa umat, yang kemudian umat tersebut selalu berusaha untuk tabah dan bangkit dan terus berusaha, sehingga umat tersebut tidak pernah mengeluh apalagi berputus asa. Jadi konteks sabar tersebut ialah orang atau umat yang sedang menghadapi problem, lalu umat tersebut tetap sabar dalam problem tersebut tetap tidak mandek, melainkan mereka terus berusaha agar problem yang sedang melilit mereka dapat diatasi dan mendapatkan jalan keluar. Caranya ialah dengan terus berusaha tanpa mengenal lelah dan tanpa berputus asa, hingga tujuannya untuk menyelesaikan problem tersebut terwujud.

Nah, kalau pengertian sabar tersebut diterapkan Pada beberapa kasus keseharuian kita, semisal gagal dalam berusaha, gagal dalam bertani dan lainnya, maka sikap sabar itu akan menjadikan seseorang yang mengalami kegagalan tersebut akan semakin terpacu untuk tetap berusaha atau bertani dengan melengkapi dan menyempurnakan usaha dan pertaniannya agar bisa berhasil, tanpa mengeluh dan juga tidak mengenal menyerah dan putus harapan.

Inilah makna sabar yang dikehendaki Tuhan, sehingga bagi orang-orang yang seperti itu pasti akan disayangi oleh Tuhan. Tetapi sabar yang bermakna pasif dan pasrah, mengeluh serta menyerah, tentu tidak akan membuat seseorang menjadi lebih baik, malahan justru sebaliknya, akan semakin membuat seseorang tersebut terpuruk. Kondisi yang demikian tentunya tidak termasuk sesuatu yang dicintai oleh Tuhan,

Memang disamping sabar dalam arti seperti itu, sabar juga sering diartikan sebagai tabah dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan. Tabah yang seperti itu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengukur sejauhmana seseorang tersebut dapat mengendalikan diri dan emosinya pada saat kali pertama mendapatkan cobaan tersebut; Apakah seseorang ketika mendapatkan cobaan, kemudian dia tetap tabah dan tetap percaya kepada Tuhan bahwa semuanya itu hanyalah sebagai ujian dari Tuhan atau senbaliknya, justru ia malah lupa dan bahkan menyalahkan Tuhan, atau terkadang salah paham kepada Tuhan dan mengatakan bahwa Tuhan tidak adil dan lainnya. Semuanya itu ditentukan dengan seberapa kadar kesabaran yang ada pada seseorang tersebut.

Itulah sebabnya Nabi dahulu pernah mengatakan bahwa sabar itu ada dan bermakna pada saat awal dan pertama kali seseorang tersebut mendapatkan musibah. Artinya sabar yang berkonotasi tabah dan tidak mudah terpengaruh oleh musibah atau hal lain yang mengiringi musibah tersebut tentunya juga merupakan sabar yang dapat dibenarkan karena mengandung makna positif serta akan menjadikan seseorang yang sabar tersebut menjadi lebih baik.

Dengan demikian sabar yang benar dan bagi penyandangnya akan dipuji dan dicintai Tuhan ialah sabar dalam pengertian tabah, terus berusaha tanpa mengenal lelah, tidak mengeluh dan tidak berputus asa. Sabar yang seperti itu memang tidak mudah untuk kita praktekkan, tetapi kita harus berusaha untuk mempraktekknanya dalam kenyatan kehidupan kita, karena kita memang ingin disayang oleh Tuhan.

Pada akhirnya, semoga kita dan keluarga kita serta orang-orang mukmin senantiasa diberikan taufiq, hadayah dan inayah oleh Allah SWT, sehingga kita dapat menjadikan sabar yang benar tersebut berada dalam diri kita, dan kita dihindarkan dari sabar yang berkonotasi sebaliknya, yakni pasif dan pasrah serta menyerah. amin

MOTIVASI PUASA

Hampir semua orang yang menjalankan ibadah puasa berpengharapan bahwa Tuhan akan memberikan balasan pahala atas jerih payahnya berpuasa. Bragam motivasi telah disampaikan oleh nabi Muhammad SAW, tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan banyak orang ialah apakah memang semua motivasi tersebut dapat diraih oleh orang yang melaksanakan puasa?. Jawabannya tentu tidak, melainkan disesuaikan dengan amal perbuatan serta sejauhmana orang yang berpuasa tersebut memang berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Artinya tidak secara otomatis semua orang yang berpuasa akan mendapatkan apa saja yang dijanjikan sebagai motivasi bagi orang yang berpuasa.

Berbagai motivasi yang disampaikan oleh Nabi melalui hadis-hadisnya cukup banyak, dan diantaranya ialah: “barang siapa yang menjalankan puasa di bulan Ramadlan dengan didasari iman dan penuh penghitungan atau ikhlas, maka segala dosanya akan diampunkan oleh Allah SWT”. Riwayat lainnya juga menyebutkan “Barang siapa yang mendidrikan shalat malam di bulan Ramadlan dengan didasai iman dan keikhlasan, maka ia akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.” Setidaknya dua hadis tersebut telah memberikan motivasi besar kepada siapapun untuk menjalankan ibadah puasa. Tetapi dengan adanya dua syarat yang menyertai hadis tersebut, tentunya bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, tidakan mendapatkan ampunan yang dijanjikan tersebut.

Dua syarat tersebut tampaknya memang cukup ringan, namun setelah direnungkan, termnyata cukup berat juga, terutama bagi yang belum terbiasa melalukan perbuatan baik dan terpuji. Sayarat pertama ialah iman. Iman bukan sekedar pernyataan lisan yang menggambarkan bahwa seseorang itu percaya kepada Tuhan dan segala hal yang disampaikan-Nya. Tetapi lebih dari itu, iman merupakan penggambaran tentang seseorang yang dengan ketulusan hati dan pikirannya, mempercayai Tuhan sebagai pencipta yang Maha Segalanya, serta mengakui bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang sangat lemah dan sangat bergantung kepada Tuhan. Tuhanlah yang menentukan segala-galanya termasuk nasib dan masa depannya. Demikian juga keimanan tersebut mencakup kepercayaan yang penuh kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan yang juga menentukan syariat untuk umatnya.

Bahkan keimanan yang dimaksudkan tersebut seharusnya juga meliputi keimanan terhadap sesuatu yang diinformasikian sendiri oleh Tuhan, walaupun untuk saat ini kita belum dapat membuktikannya, seperti tentang akhirat, surge dan neraka, hari akhir dan pembalasan serta lainnya. Tanpa meyakini semua hal yang diinformasikan oleh Tuhan atau oleh Nabi, maka iman seseorang masih belum sempurna bahkan tidak komplit.

Sementara itu syarat kedua yakni “ihtisab” yang biasa diartikan sebagai tulus semata mata hanya kepada Tuhan atau sangat berpengharapan akan keridlaan Tuhan. Ketulusan dan hanya berharap kepada Tuhan ini sangat erat berhubungan dengan hati, dan bukan sesuatu yang diucapkan saja. Arrtinya bahwa dalam menjalankan ibadah puasa yang dijanjikan akan diampuni segala dosanya yang telah lewat, tidak cukup hanya menjalankannya saja, tanpa niat yang sangat tulus bahwa puasa yang dijalankannya tersebut semata hanya rasa ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhan semata, melainkan puasa yang dilakukannya tersebut memang didasari ketulusan dan kesucian niat untuk Tuhan.

Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh imam Muslim, Rasul Muhammad SAW pernash bersabda “Allah SWT., telah berfirman bahwa seluruh amal perbuatan anak-anak Adam itu untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, karena puasa itu untukku, dan Aku akan membalasnya. Puasa itu merupakan perisai, karena itu ketika salah satu diantara hambaku berpuasa hendaklah tidak berbohong atau melakukan perbuatan keji lainnya, dan ketika ada orang yang mencaci atau bahkan menyakiti atau ingin membunuhnya sekalipun, maka cukup katakanlah bahwa saya sedang berpuasa. Dan demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, bahwa bau mulut orang yang sedang berpuasa itu diakhirat nanti akan lebih wangi dan harum dibandingkan dengan minyak misk. Bagi orang yang berpuasa itu mempunyai dua kebahagiaan, yakni kebahagiaan ketika dia sedang berbuka puasa dan ketika nanti bertemu dengan Tuhannya di akhirat.

Motivasi yang disampaikan melalui hadis ini cukup banyak, yakni bahwa puasa itu untuk Tuhan dan Tuhan sendiri yang nanti akan membalas dengan pahala yang sangat besar. Demikian juga puasa itu dapat menjadi perisai bagi orang yang menjalankannya. Artinya puasa yang dilakukan tersebut akan dapat menangkal segaal hal yang tidak baik dan mengancam kepada keutuhan diri kita. Namun diingatkan oleh hadis tersebut bahwa syarat utamanya ialah pada saat berpuasa harus dapat menahan diri dari berbuat bohong, melakukan perbuatan keji, mencati orang lain, dan lainnya, bahkan orang yang berpuasa harus dapat menahan diri terhadap cacian yang dialamatkan kepadanya, atau bahkan harus dapat menahan diri tidak membalas manakala disakiti atau diancam bunuh sekalipun.

Inilah sesungguhnya inti masalahnya, yakni dapat menahan diri dari berbagai hal yang secara lahir akan merugikan diri sendiri. Berat memang syarat yang harus dipenuhi, tetapi kalau dapat dilaksanakan dengan baik, tentu akan mendapatkan balasan sesuai yang dijanjikan. Disinilah kebanyakan orang menjadi kalah. Artinya puasa yang dilaksanakannya ternyata tidak akan memberikan efek sebagimana dikatakan, yakni dapat menjadi perisai dan nantinya akan dibalas oleh Tuhan dengan balasan yang demikian besar. Tetapi setelah menjalankan puasa tersebut tampak biasa saja, dan bahkan sangat mungkin kebiasan yang kurang baik juga tetap dijalankannya lagi.

Motivasi yang terkandung dalam hadis tersebut juga memberikan isyarat bahwa bagi orangn yang berpuasa tidak usah khawatir dengan bau mulut yang kurang sedap disebabkan tidak makan dan minum, karena di akhirat nanti bau yang kurang sedap tersebut akan berubah menjadi aroma yang sangat harum, bahkan melebihi minyak misk sekalipun dan keharumannya tersebut akan dapat menyenangkan kepada semua orang. Terakhir dalam hadis tersebut juga dikatakan bahwa bagi orang yang berpuasa setidaknya akan mendapatkan dua kebahagiaan , yakni kebahagiaan yang akan dapat diraih ketikan masih di dunia ini yakni pada saat berbuka puasa dengan kenikmatan tersendiri, dan kebahagiaan di akhirat nanti, yaitu kebahgiaan yang tiada taramnya, yakni ketika nanti bertemu dengan Tuhan.

Demikian itulah sebagian motivasi yang diberikan bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa, sehingga puasa yang tadinya dianggap sangat berat, akan terasa menjadi ringan dan menyenangkan. Belum lagi motivasi lainnya yang sangat banyak disampaikan untuk memberikan semangat bagi mereka yang menjalankan puasa, seperti “ di surga nanti ada pintu yang bernama al-Rayyan, dimana hanya orang-orang yang berpuasa sajalah yang akan dapat memasukinya, bahkan disana nanti akan ada suara yang mengundang; wahai orang yang puasa dimana kalian, masuklah kesini, dan ketika orang terakhir sudah masuk, maka pintu tersebut akan segera dikunci dan tidak lagi akan ada yang bisa masuk lewat pintu tersebut”.

Demianlah beberapa motivasi yang dapat dijadikan penyemangat bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa. Prinsipnya yang harus diketahui dan diyakini bahwa motivasi tersebut bukan semata motivasi yang tidak berefek terhadap diri kita, melainkan merupakan suatu kebemnaran yang dapat dipertanggung jawabkan, khususnya bagi mereka yang yakin dan beriman secara total. Dan sebagai seorang muslim yang beriman, sudah sepatutnya kita menjadi yakin dengan semua itu dan kemudian melaksanakannya dengan penuh kesenangan.

Dengan keyakinan yang demikian besar dan dengan melakukan semua syarat yang ditetapkan, insya Allah semua yang dijanjikan sebagai motivasi tersebut akan dapat kita raih, baik ketika nanti kita berada di akhirat mapun saat kita masih berada di dunia ini, khususnya berupa dampak positif yang akan dapat menyetir kita kearah jalan poditif dan menyelamatkan. Amin.

Al-Insyirah : 1-8

1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
2. Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,

3. Yang memberatkan punggungmu?

4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu

5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain

8. Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap

DISPENSASI PUASA

Allah SWT memang telah menetapkan dan mewajibkan puasa kepada seluruh umat Islam, khususnya yang telah memenuhi syarat, seperti baligh, berakal dan lainnya, tetapi Tuhan juga memberikan keringanan atau dispensasi bagi orang-orang tertentu untuk tidak menjalankan puasa di bulan suci Ramadlan. Dispensasi memang diperlukan bagi mereka yang diperkirakan akan mendapatkan kesulitan, manakala tetap menjalankan puasa. Kebijakan seperti ini sudah menjadi semacam konvensi tidak tertulis, baik dalam peraturan yang dibuat oleh mamnusia maupun paraturan yang dibuat langsung oleh Allah SWT.

Sebagaimana dalam ibadah lainnya, seperti shalat, zakat, haji, dan lainnya, ibadah puasa juga mengenal dispensasi atau keringanan untuk tidak menjalankan puasa, karena ada alasan yang dibenarkan oleh syara’. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat ke 184 Tuhan sendiri telah memberikan penjelasan bahwa bagi orang yang sedang menderita sakit atau sedang bepergian, maka bolehlah meninggalkan puasa dengan konsekwensi mengantinya di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkannya. Demikian juga ada dispensasi khusus bagi mereka yang memang berat menjalankan puasa karena usia atau sakit yang berat dan sulit diharapkan kesembuhannya, untuk tidak puasa hanya saja mereka menggantikannya dengan fidyah atau memberikan makan kepada fakir miskin.

Memang dalam ayat tersebut banyak penafsiran yang dapat kit abaca dari para ulama, tetapi yang jelas, bahwa maksud dari sakit yang diperbolehkan meninggalkan puasa ial;ah sakit yang akan mengganggu puasa, seperti dianjurkan oleh dokter untuk tidak berpuasa dahulu, atau sakit yang kalau dipaksakan berpuasa malah akan menambah sakit yang dideritanya, atau sakit sakit lainnya yang tidak memungkinkan berpuasa. Jadi dengan demikian kalau hanya sakit yang tidak akan terganggu dengan puasa, tentu tidak termasuk yang diberikan dispensasi, misalnya sakit kepala biasa, sakit batuk, sakit mata, luka dan lainnya.

Sementara itu untuk ukuran safar atau bepergian, juga terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, tetapi yang perlu diketahui ialah bepergian yang didalamnya juga diberikan dispensasi dalam hal shalat. Kebanyakan ulama memang menganut madzhab Syafi’i yang mensyaratkan jarak tempuh harus melebihi 83 km, walaupun kalau dihitung jarak ketika Nabi melakukan shalat dengan dispensasi ketika di Arafah ternyata tidak sejauh itu. Demikian juga para ulama memberikan persyaratan bahwa perjalanan tersebut untuk tujuan yang b aik, dan bukan tujuan maksiat, serta dispensasi tersebut diberikan pada saat perjalanan tersebut sudah benar-benar dijalankan, dan bukan sebelumnya.

Meskipun dispensasi tersebut diberikan oleh Tuhan kepada umat yang sedang menjalankan puasa, tetapi kalau umat tersebut mampu untuk melaksanakan puasa, tentu hal tersebut dianggap lebih baik. Artinya kalau pada saat ini kita pergi dari Semarang menuju Jakarta dengan naik pesawat, tentu kita tetap akan mendapatkan dispensasi tersebut, tetapi karena perjalanan dengan pesawat tersebut tidak memerlukan banyak eneregi dan bahkan sangat nyaman, maka akan lebih baik kita tetap menjalankan puasa ketimbang mengambil dispensasi tersebut.

Sementara itu untuk dispensasi yang tidak diwajibkan mengganti puasa di hari lain, yakni hanya cukup dengan menggantinya dengan fidyah atau tebusan memberi makan fakir dan miskin, hanya semata diperuntukkan bagi mereka yang secara lahir tidak akan mampu berpuasa dan tidak aka nada kesempatan menggantinya dihari lain, seperti orang renta yang tidaka akan mungkin bisa kembali menjadi muda lagi, atau orang yang sakit parah dan menurut perkiraan dokter tidak akan dapat bertahan hidup lama dan lain orang yang mempunyai kondisi seperti itu.

Itulah beberapa dispensasi yang secara langsung diberikan oleh Allah SWT. Namun demikian ternyata dispensasi tersebut juga diberikan oleh para ulama dengan alas an yang sangat kuat, misalnya dispensasi yang diberikan kepada perempuan yang sedamng hamil atau sedang menyusui. Tentu ketentuan tersebut tidak mutlak, melainkan dalam batas-batas tertentu, seperti perempuan hamil yang khawatir dengan kesehatan dan keselamatan bayi yang dikandungnya, dengan pertimbangan dokter ahli. Demikian juga bagi perempuan yang menyusui harus ada pertimbangan khusus, karena khawatir terhadap pertumbuhan bayinya.

Nah, untuk dispensasi yang diberikan kepada perempuan yang sedang hamil ataupun menyusui tersebut didasarkan atas kebutuhan pihak lain, yakni anak yang sedang membutuhkan ibunya dalam kondisi prima, dan kalau dipaksakan puasa, sangat dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan anak tersebut, baik secara fisik maupun kecerdasan. Dengan alas an tersebutlah para ulama kemudian memberikan dispensasi kepada mereka untuk tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan. Namun demikian mereka tetap wajib menggantikannya di hari lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya. Bahkan para ulama memberikan persyaratan lagi yakni dengan memberikan fidyah, yakni member makan kepada fakir dan miskin.

Kenapa para ulama berani memberikan dispensasi kepada mereka yang sedang hamil dan menyusui, tentu dengan pertimbangan yang sangat matang. Kekhawatiran akan keselamatan anak merupakan salatu hal yang menjadi alasan utamanya. Pada prinsipnya dalam perintah menjalan puasa tersebut bukan untuk menyengsarakan ataupun membahayakan siapun, tetapi justru dalam upaya untuk menjadikan orang yang berpuasa tersebut menjadi lebih baik, alias menjadi orang yang muttaqin dalam arti yang sesungguhnya. Sedangkan kalau membiarkan orang berpuasa, tetapi ada pihak yang harus menanggung akibat kurang baik, tentu hal tersebut harus dihindari.

Semua itu juga didasarkan atas ketentuan Tuhan yang memberikan penjelasan bagi kita bahwa dalam menentukan perintah puasa dan pemberian dispensasi tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada semua pihak. Dalam al-Baqarah ayatke 185, Tuhan bahkan dengan jelas mengatakan “ Allah menghendaki kepada kalian semua, kemudahan dan sama sekali tidak menghendaki kesusahan”. Artinya pemberian dispensasi yang disampaikan oleh para ulama kepada perempuan yang sedang mengandung dan menyusui tersebut dalam upaya memberikan kemudahan kepada semua pihak, termasuk perempuan. Sebab seandainya dispensasi tersebut tidak diberikan, niscaya aka nada beberpa pihak yang menjadi atau mengalami kesulitan. Dan hal tersebut sama sekali tidak dikehendaki oleh Tuhan.

Memang ada yang salah faham dengan dispensasi yang satu ini, yakni karena ada fidyah atau tebusan yang harus dilakukan oleh perempuan hamil atau menyusui, maka mereka kemudian dibebaskan dari kewajiban mengganti puasa tersebut. Salah faham tersebut terutama dialami oleh banyak perempuan di beberapa daerah yang memang mendapatkan pengetahuan seperti itu. Untuk itu menurut saya perlu ada pencerahan yang intensif untuk menjelaskan persoalan ini. Karena bagi siapapun juga yang ada k4esempatan untuk mengganti puasa dikesmpatan lain dalam kondisi normal, maka wajib bagi dia untuk segera menunaikan penggantian puasa tersebut, tapa ada pengecualian.

Sesungguhnya masih ada bentuk dispensasi lagi yang diberikan kepada orang yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan. Tetapi bentuk dispensasi yang satu ini tidak dapat diambil dan dilakukan oleh setiap orang, melainkan hanya khusus kepada orang-orang tertentu saja yang memang dikehendaki oleh Tuhan. Dispensasi yang satu ini memang sangat berbeda, yakni diperbolehkannya makan dan minum di siang hari bulan Ramadlan, dengan catatan yang bersangkutan memang benar-benar lupa bahwa dirinya sedang menjalankan ibadah puasa. Jadi dispensasi ini hanya untuk orang yang diberikan anugrah berupa lupa, dan bukan pura-pura lupa. Artinya meskipun orang yang sedang berpuasa itu sempat makan dan minum bnayk hingga kenyang, kemudian beberapa saat kemudian baru menyadari bahwa disinya sedang berpuasa, maka hal tersebut tidak akan membatalkan puasanya dan dianggaplah sebagai dispensasi atau rizki yang memang diberikan oleh Tuhan.

Demikianlah beberapa bentuk dispensasi bagi orang yang berpuasa. Semua itu bukan dalam arti untuk wajib dilakukan, terutama bagi yang sedang sakit dan bepergian, melainlkan hanya dispensasi. Kalau kemudian sekiranya orang yang mendapatkan dispensasi tersebut tetap mau menjalankan puasanya, maka hal tersebut dianggap lebih baik bagi dirinya, karena dia tidak menyia-nyiakan bulan suci ini dengan menggantinya di bulan lain. Tentu kita semua tahu dan sangat paham bahwa melakukan amalan di bulan Ramadlan ini nilai pahalanya akan jauh dan lebih besar dibandingkan dengan bulan lainnya.

Untuk itu kita tetap berusaha secara maksimal bahwa selama memungkinkan untuk menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini, kita akan upayakan menjalankannya secara konsisten, terkecuali memang tidak memungkinkan. Semoga usaha yang kita lakukan untuk mempertahankan puasa di bulan ini, meskipun ada dispensasi untuk meninggalkannya, akan mendapatkan pujian dari Tuhan dan sekaligus mendapatkan balasan pahala yang berlipat ganda. Amin.

SYUKUR ATAS NIKMAT KEMERDEKAAN

Indonesia telah merdeka selama 66 tahun, sebuah usia yang cukup untuk memberikan sumbangan nyata bagi sebuah Negara untuk rakyatnya, namun sampai saat ini ternyata masih banyak rakyat yang belum dapat merasakan nikmatnya sebuah kemerdekaan. Ya itu semua manakala diukur dengan cita-cita ideal yang dicanangkan oleh para pendiri Negara ini, tetapi kalau diukur dengan kacamata lepasnya dari sebuah penjajah Negara, maka sesungguhnya seluruh rakyat Indonesia telah merasakan kondisi sebuah kemerdekaan. Jadi untuk dapat mengatakan bahwa Indonesia sesungguhnya telah merdeka harus dilihat dari sudut mana kita melihatnya.

Banyak orang yang berpendapat bahwa Negara kita ini sebenarnya belum sepenuhnya merdeka, karena masih banyak dijajah oleh berbagai pihak, meskipun sudah lepas dari penjajah Negara lain, seperti Belanda dan Jepang. Bukti bahwa belum seluruh masyarakat kita benar-benar merdeka ialah banyaknya korupsi terhadap uang Negara yang seharusnya menjadi hak masyarakat dalam bentuk perbaikan sarana umum, kesehatan, pemdidikan dan layanan lainnya. Disamping itu dalam prakteknya saat ini tidak semua kekuatan Negara dikerahkan untuk memakmurkan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan utamanya.

Namun bagaimanapun juga kondisi saat ini masih lebih baik dibandingkan pada saat ketika masih dijajah oleh bangsa lain. Untuk itulah kondisi seperti ini harus tetap disyukuri dengan melakukan aktifitas yang dapat memberikan manfaat bagi diri, keluarga, dan juga lingkungan kita. Karena dalam keyakinan kita bahwa siapapun yang mau mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan, maka Tuhan akan selalu menambah nikmat-Nya kepada kita. Dan sebaliknya kalau kita tidak mau mensyukurinya dan bahkanmalah mengingkarinya, maka Tuhan akan mengancam dengan adzab yang sangat pedih.

Sementara itu bentuk syukur yang harus kita lakukan dapat berupa beraneka ragam aktifitas positif, mulai dari hanya sekedar mengungkapkannya dengan ucapan yang menggambarkan kesyukuran tersebut, sampai kepada kesadaran yang penuh akan nikmat Tuhan tersebut, yang menyebabkan kita merasa wajib untuk mengikuti seluruh yang Tuhan titahkan dan sekaligus menjuh dari semua yang Tuhan larang. Pelaksanaan kewajiban dan menjauh dari larangan tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan dan bukan karena sebuah kewajiban semata atau apalagi didasarkan atas keterpaksaan. Bentuk syukur yang seperti itulah sesungguhnyayang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan bentuk syukur lainnya

Kalau kita mengacu kepada sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW, dimana beliau sebagai Nabi dan kekasih Tuhan, tentu akan ditanggung masuk surga, namun justru yang terjadi ialah beliau malahan lebih giat dalam melakukan ibadah kepada Tuhan, bahkan sampai kaki beliau bengkak-bengkak. Nah dalam keadaan demikian ada seorang sahabat yang menanyakan kepada beliau kenapa Nabi melakukan shalat sedemikian hebatnya hingga kaki beliau bengkak, padahal Tuhan telah menjamin masuk surga. Atas pertanyaan tersebut Nabi kemudian menjawab, apakah saya harus menjadi hamba yang tidak tahu bersyukur.

Kenyataan tersebut memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa justru dengan diberikan nikmat yang sangat banyak, bukan berarti kita akan menjadi malas dan mengandalkan pemberian tersebut semata. Sama sekali yang seperti itu tidak dapat dibenarkan. Karena kelau kesadaran telah merasuki diri kita bahwa kita ini sebagai hamba Tuhan yang sangat lemah dan sangat membutuhkan kasih sayang-Nya, maka akan sangat tidak tepat kalau Tuhan memberikan banyak karunia dan nikmat kepada kita, lantas kita menjadi malas, sombong dan menganggap bahwa kita sudah tidak perlu lagi bekerja keras, dan lainnya.

Justru dengan pemberian Tuhan yang sedemikian banyak kepada kita, kita harus lebih menyadari bahwa kita memang harus terus mengabdikan diri kita kepada Tuhan dengan melakukan apapun yang dapat menjadikan Tuhan sayang kepada kita, bukan sebaliknya kita menjadi malas yang akan menyebabkan Tuhan tdak lagi menyayangi kita. Semakin banyak kita menyadari bahwa Tuhan sesungguhnya telah memberikan banyak nikmat kepada kita, maka semakin rajin kita untuk menyerahkan diri kita kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan dan memnuhi setiap panggialn-Nya serta menjauh dari segala yang menyebabkan Tuhan akan marah dan menghukum kita.

Demikian itulah seharusnya sikap kita dalam mensyukuri nikmat Tuhan, termasuk nikmat kemerdekaan yang begiru dahsyat. Dengan kemerdekaan itu seharusnya kita semakin dekat dengan Tuhan dalam arti lebih banyak menyadari posisi kita yang sangat lemah dimata Tuhan, dan Tuhan akan mampu berbuat apapun terhadap kita, bahkan membalik keadaan kita yang ada sekarang ini. Untuk kepentingan itulah kita seharusnya dapat memanfaatkan kemerdekaan ini dengan baik, yakni melalui peran kita masing-masing. Dan bentuk inilah yang merupakan kesyukuran yang paling tinggi.

Memang di sana masih banyak bentuk syukur yang dapat dilakukan oleh semua masyarakat, seperti melakukan kerja keras untuk kesejahteraan keluarga, jujur dalam menjalankan tugas, disiplin dalam semua keadaan, tidak berlaku korup dalam kesempatan apa saja, dan selalu berlaku tertib sesuai dengan peraturan atau perundangan yang berlaku, serta bentuk perilaku positif lainnya. Ya itulah yang seharusnya kita lakukan dalam mensyukuri kemerdekaan, yakni dengan mengisi kemerdekaan ini dengan mengerjakan segala hal yang dapat meningkatkan kesejahteaan serta bermanfaat bagi semua orang.

Terkadang saya memang membayangkan alangkah indahnya dunia kita ini seandainya semua masyarakat dapat berlaku seperti yang saya gambarkan di atas, yakni adanya kesadaran yang tinggi untuk melakukan aktifitas positif dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perbuatan yang akan dapat merugikan pihak lain, seperti mencuri, korupsi, suap, terror, dan lainnya. Tentu bangsa ini akan sangat kuat dan kesejahteraan sudah pasti telah diraih oleh seluruh rakyat. Bayangan saya tersebut mengandaikan semua berlaku jujur, terutama mereka yang mempunyai tanggung jawab mengelola Negara, baik mereka yang ada di legislative, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan sungguh-sungguh, pasti 66 tahun merdeka kita sudah menjadi bangsa besar dan bermartabat serta disegani oleh seluruh bangsa di dunia ini.

Dalam kondisi seperti itu kita tidak lagi akan melihat pemandangan gelandangan yang menghiasi sudut-sudut kota, para pengamen yang selalu "mengganggu" pengendara dan juga penumpang angkutan umum dan mengganggu pemandangan, dan anak-anak menjadi terlantar serta tidak bisa sekolah, serta pemandangan lain yang cukup memilukan hati orang-orang yang menghapkan bangsa ini maju dan sejahtera. Demikian juga kita tidak akan mendengar ada seorang pasien yang terpaksa meninggalkan rumah sakit dengan bayi yang disandera karena tidak bisa membayar ongkos yang begitu melangit. Bahkan kita juga tidak perlu menyaksikan para wanita kita harus keluar negeri hanya untuk mengais dolar, ringgit ataupun real, dengan resiko yang sangat tinggi, termasuk resiko hukuman mati.

Duh Gusti, kapan kiranya bangsa saya ini akan dapat menyadari pentingnya kemerdekaan yang telah engkau anugrahkan kepada kami, sehingga mereka semua akan dapat bekerja secara jujur dan melakukan investasi akhirat dengan berbuat baik dan berupaya mensejahterakan masyarakat, serta bukan lagi berorientasi memperkaya diri sendiri. Berilah petunjuk kepada bangsa kami agar mereka dapat menggunakan hati nurani mereka dalam mengelola bangsa ini, sehingga ada sedikit perhatian mereka kepada rakyat bangsa ini yang semakin sengsara. Kami ingin menyaksikan bangsa kami kuat, tegak berdasarkan hokum yang kami ciptakan dengan tetap mengacu kepada keadilan dan kemaslahatan, dan sejahtera dalam kehidupannya. Untuk itu sekali lagi tolonglah wahai Tuhan penguasa jagat raya, berilah kepada kami sedikit kasih dan sayang-Mu kepada para pengelola Negara kami agar mereka terbuka mata dan hati mereka untuk menyaksikan anak bangsa mereka yang ternyata masih jauh di bawah garis kemskinan.

Kita memang harus menjadi orang yang kaya dan sejahtera, sehingga kita akan dapat berbagi dengan sesame, namun bukan kaya secara sendiri dan membiarkan orang lain tetap dalam kondisi menderita. Bahkan meskipun kekayaan tersebut harus diperoleh dengan tidak halal dan menyengsarakan pihak lain. Tetapi kekayaan yang kita miliki didasarkan atas prestasi kita dan sekaligus dengan selalu membaginya dengan sesama.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan nur kepada kita sedemikian rupa sehingga kita akan dapat menyinari warga bangsa kita dan mereka akan mendapatkan sdikit kenikmatan yang juga kita miliki. Dengan begitu kita kiranya sudah melakukan sesuatu yang seharusnya memang harus kita lakukan dalam mengisi kemerdekaan Negara kita yang kemarin dan sampai hari ini masih kita peringati. Amin.

MAKNA LAILATUL QADAR BAGI UMAT ISLAM

Salah satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt. kepada umat Muhammad saw. dan tidak diberikan kepada umat lainnya ialah adanya hitungan pahala yang berlipat ganda. Dalam syari`at Islam orang yang melakukan kebaikan satu akan dibalas oleh Allah swt. dengan sepuluh kali lipat, sebaliknya apabila dia melakukan kejahatan, Allah hanya akan membalasnya sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukannya. (al-Qur’an surat al-An`am ayat 161). Diceritakan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, konon ketika Nabi Muhammad saw. menerima perintah melaksanakan shalat fardlu pada saat isra’ dan mi`raj, pertama kali Allah memerintahkan untuk dilaksanakan shalat sebanyak 50 kali, namun atas usul Nabi Musa, yang memberikan pertimbangan bahwa umat Nabi Muhammad saw. tidak akan sanggup melaksanakannya dengan disertai beberapa alasan yang rasional, lalu Nabi Muhammad saw. memohon keringanan dengan berkali-kali mondar mandir mengahadap Allah swt., hingga akhirnya shalat tersebut diwajibkan hanya 5 kali dalam sehari semalam untuk Nabi dan umatnya. Walaupun demikian nilai pahalanya sama dengan melaksanakan shalat 50 kali, karena setiap shalat pahalanya dilipatkan menjadi sepuluh kali.

Belum cukup dengan itu, dalam surat al-Baqarah ayat 261 misalnya Allah swt. memberikan motivasi berbuat baik dengan imbalan pahala yang berlipat ganda sampai 700 kali bahkan bisa lebih banyak lagi. Allah swt. berfirman yang artinya:Perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah itu bagaikan satu biji yang kemudian tumbuh menjadi tujuh tangkai dan tiap-tiap tangkai tersebut membuahkan seratus biji. Allah akan melipatgandakan (lagi) kepada orang yang dikehendaki-Nya dan Allah itu Maha Luas (pemberian-Nya) dan Maha Tahu.

Bahkan lebih dahsyat lagi pada setiap bulan Ramadlan, Allah memberikan satu malam diantara malam-malam di bulan yang suci tersebut yang nilainya lebih dari seribu bulan. Malam nan Agung tersebut biasa disebut dengan nama malam seribu bulan atau lailatul qadar. Informasi mengenai lailatul qadar ini dapat dibaca dalam surat al-Qadar, yang artinya: Sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan al-Qur’an pada Lailatul Qadar. Tahukah kamu apa itu lailatul qadar. Lailatul qadar itu lebih baik daripada seribu bulan. Malaikat dan Ruh turun pada malam itu dengan ijin Tuhan Mereka untuk segala urusan. Damai dan sejahteralah lailatul qadar itu hingga terbit fajar.

Sebagai motivasi penyemangat ibadah

Demikian besar motivasi yang diberikan oleh Allah swt. kepada umat Muhammad ini dalam rangka mendapatkan pahala sebagai bekal menempuh kehidupan akhirat yang kekal. Konon hal ini diberikan oleh Allah sebagai imbangan terhadap umat terdahulu yang diberikan umur sangat panjang. Umat Nabi Nuh misalnya dapat bertahan sampai seribu tahun, dan juga umat Nabi-Nabi lain yang umur mereka mencapai ratusan tahun, sehingga mereka dapat beribadah kepada Allah dalam waktu yang panjang dan mendapatkan pahala yang sangat banyak.. Sedangkan umat Muhammad saw. rata-rata hanya dapat bertahan sekitar enam puluh sampai tujuh puluhan tahun, sehingga mereka tidak akan dapat mengimbangi kebaikan umat terdahulu yang dapat mengumpulkan pahala cukup banyak tersebut. Karena untuk kepentingan itulah, maka meskipun umat Muhammad saw. hanya diberikan umur yang pendek, tetapi tetap dapat mendapatkan pahala yang cukup banyak, dan bahkan dapat melebihi yang dikumpulkan oleh umat terdahulu yang dapat bertahan hidup dalam masa ratusan tahun.

Sementara itu apabila dipandang dari sisi lain, lailatul qadar ini sesungguhnya merupakan suatu upaya rohani dalam rangka ketaatan yang tulus bagi setiap hamba Tuhan. Sebagai sebuah upaya, lailatul qadar ternyata mempunyai pengaruh luar biasa bagi umat yang taat. Bagaimana tidak, secara nalar sesungguhnya dapat dimengerti apabila kewajiban puasa yang ditujukan kepada umat Islam satu bulan penuh di bulan Ramadlan itu merupakan suatu beban tersendiri, yang tentunya akan dirasakan sebagai suatu yang tidak ringan. Tetapi dengan pemberian motivasi yang bermacam bentuknya, menjadikan beban yang terasa berat tersebut justru berbalik menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan dan bahkan dirindukan.

Berbagai motivasi yang dapat direkam dari beberapa hadis, antara lain: (1). Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadlan (dalam riwayat lain melakukan ibadah malam Ramadlan) dengan didasari iman dan hanya mencari keridlaan Allah semata, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah swt., (2). Pada bulan Ramadlan pintu neraka akan ditutup oleh Allah dan pintu surga dibuka-Nya lebar-lebar, serta setan dan iblis dibelenggu, (3). Bau mulut orang yang sedang berpuasa menurut Allah itu lebih harum ketimbang minyak misik, (4). Awal bulan Ramadlan merupakan kasih sayang Allah, pertengahannya merupakan ampunan-Nya dan akhir Ramadlan merupakan pembebasan Tuhan dari neraka ( bagi yang melakukan puasa di dalamnya), dan yang paling dahsyat adalah diberikannya satu malam di bulan suci ini yang nilainya lebih baik ketimbang seribu bulan.

Khusus lailatul qadar ini, Allah menempatkannya pada malam-malam sepuluh hari terakhir. Tentu hal ini bukan tidak ada maksud dan tujuan. Secara nalar pula bahwa menjalankan puasa dan ibadah shalat pada malamnya secara terus menerus, tentu akan menimbulkan sedikit kelesuan dan kebosanan, dan itu biasanya terjadi setelah berlangsung sekian lama. Dalam satu bulan, setelah dua puluh hari berlangsung, tentu rasa capek dan kebosanan akan menghinggapi setiap orang. Justru karena itulah dalam rangka memompa kembali semangat umat yang akan loyo tersebut Allah memberikan motivasi yang sangat hebat pengaruhnya bagi orang yang mengejar ridla dan pahala dari-Nya. Lailatul qadar ternyata dapat membangkitkan semangat yang menyala bagi umat yang salih untuk tetap terus memanfaatkan Ramadlan dengan penuh gairah dan mengesampingkan rasa capek dan malas yang secara manusiawi akan menghinggapinya tersebut.

Menyikapi Lailatul qadar

Lantas bagaimana sikap kita sebagai muslim dalam menanggapi lailatul qadar yang diberikan oleh Allah tersebut. Tentu tidak semua umat Islam sepaham dengan pemaknaan malam nan Agung tersebut sebagai malam yang riil diberikan Allah swt. kepada umat ini; Ada diantara umat Islam yang memahaminya sebagai suatu malam yang hanya sekali diberikan oleh Allah swt, yaitu pada malam ketika al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan. Sementara ada sebagian umat yang memahaminya sebagai simbol belaka dan tidak mungkin ada satu malam yang benar-benar nilainya lebih baik daripada seribu bulan. Ungkapan lailatul qadar hanyalah sekedar sebagai bahasa isyarat untuk memeberikan motivasi beribadah kepada umat Islam semata, dan tidak lebih dari itu. Namun apapun pendapat mereka yang berbeda tentang pemaknaan lailatul qadar, sesungguhnya kita dapat meyakini lailatul qadar sebagai malam yang memang agung dan lebih baik daripada seribu bulan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt.. Keyakinan tersebut juga dipupuk dengan praktek amaliah Nabi beserta para sahabatnya yang senantiasa menantikan lailatul qadar tersebut setiap akhir Ramadlan. Untuk itu Nabi saw. secara terus menerus menganjurkan dan secara langsung mempraktekkannya dihadapan para sahabatnya untuk memperbanyak dzikir, bertasbih, bertahmid, bertahlil, membaca al-Qur’an, bersedekah, beriktikaf di masjid dan amaliah positif lainnya. Itu semua dilakukan dalam rangka menyambut dan mendapatkan lailatul qadar yang dijanjikan tersebut. Kalau lailatul qadar hanya terjadi sekali saja pada saat diturunkannya al-Qur’an, tentu Nabi tidak akan menganjurkan untuk mencarinya. Kalaupun lailatul qadar hanya sekedar simbol yang tidak riil sebagaimana dipahami banyak ulama’ tempo dulu, tentunya Nabi dan para sahabatnya tidak akan bersemangat untuk mendapatkannya dengan berbagai amalan positif sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Pada akhirnya dalam mensikapi lailatul qadar tentu kembali kepada masing-masing orang, tetapi yang perlu dicatat adalah gairah untuk beribadah dan meraup pahala yang sebesar-besarnya, dengan melaksanakan aktifitas positif dan bermanfaat bagi diri, keluarga, orang lain, dan lingkungan, di bulan suci ini perlu dibangkitkan. Dan sekali lagi ini dapat dipicu dengan keyakinan atas janji Tuhan mengenai lailatul qadar tersebut.

SIAPA INGIN MENDAPAT AMPUNAN DAN SURGA TUHAN?

Biasanya setiap lebaran selalu saja dibarengi dengan kegiatan halal bi halal, baik dikampung maupun di berbabagi instansi dan perusahaan. Tradisi halal bihalal tersebut memang sudah menjadi budaya yang semacam "wajib" diselenggarakan. Bukan saja dalam upaya untuk melestarikan silaturrahmi antara warga atau teman dan relasi, melainkan sudah menjadi lagu wajib dalam upaya saling memberikan maaf atas kesalahan yang selama satu tahun berjalan sangat mungki dilakukan oleh siapa saja, termasuk yang tidak disengaja. Momentum halal bihalal semacam menjadi wahana kesadaran bersama bahwa sesungguhnya sebagai manusia biasa dapat dipastikan melakukan kesalahan dan kekhilafan, dan karena itu harus saling meminta dan memberikan maaf tersebut.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam setiap penyelenggraan halal bihalal selalu akan dibacakan ayat-ayat al-Quran, terutama ayat yang menjelaskan dan ada kaitannya dengan ampunan Tuhan dan menahan amarah, meskipun sesungguhnya seluruh ayat al-Quran atau setidknya banyak ayat a-Quran yang juga relevan untuk dijadikan topik dalam halal bihalal. Namun sekali lagi mayoritas masyarakat memang sudah kadung terbiasa dengan ayat 133-136 surat Ali Imran sebagai ayat halal bihalal.

Maksud dari ayat-ayat tersebut secara umum ialah sebagai berikut:

" Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang mendermakan atau menginfakkan harta mereka baik pada saat lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan yang mau memberikan ampunan dan maaf kepada manusia, dan Sesungguhnya Allah itu menyulkai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan orang-orang yang ketika mereka melakukan perbuatan keji atau berbuata aniaya kepada diri mereka sendiri, mereka lalu ingat kepada Tuhan lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa-dosan, selain Allah dan kemudian mereka mengulanginya lagi atas perbuatan yang telah mereka lakukan tersebut dan mereka itu mengetahuinya. Balasan mereka itu ialah ampunan dari Tuhan dan surga yang didalamnya megalir sungai-sungai, dan mereka akan kekal di dalamnya. Dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal kebajikan"

Barangkali dengan ayat yang masih global tersebut sangat tidak mudah untuk dimengerti. Untuk itulah kiranya akan bijaksana kalau berikut ini akan saya jelaskan dengan berbagai penggambaran nyata dengan maksud untuk memudahkan semua orang dalam mencernanya, sebagai berikut: Ayat-ayat tersebut sesungguhnya memotivasi kepada kita untuk mencari ampunan Tuhan dan sekaligus surga yang telah disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan untuk mengenal siapa yang disebut taqwa itu biasanya diberikan batasan yang umum, yakni siapa saja yang menjalankan seluruh perintah Allah dan sekaligus menjauhi larangan-laranagan-Nya.

Puasa Ramadlan yang diwajibkan oleh Allah bagi semua umat Islam juga dimaksudkan agar mereka dapat menjadi taqwa. Lalu apakah seluruh manusia muslim yang telah menjalankan ibadah puasa ke,udian dapat disebut sebagai orang-orang yang taqwa sebagaimana yang dimaksudkan tersebut dan akan mendapatkan balasan ampuna dan surga? Jawabannya tentu harus diklasifikasikan menurut kondisi orang yang berpuasa. Ada sebagian dari mereka yang kemudian memang dapat menjadi muttaqin beneran, ada yang dapat dikatakan sebagai mendapatkan gelar muttaqin tidak sempurna dan juga ada yang tidak akan mendapatkan hakekat muttaqin itu sendiri.

Semua status tersebut sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan selama menjalankan ibadah puasa. Bagi siapapun yang ketika menjalankan puasa didasari iman yang kuat dan ikhlas karena Allah semata, kemudian juga dapat mengendalikan dirinya dan seluruh anggota badannya untuk tidak melakukan hal-hal negatif dan maksiat, lalu juga dapat mengarahkan seluruh anggota tubuh, pikian dan hati hanya untuk mengabdi kepada Tuhan, tentunya akan bisa menjadpatkan status muttaqin tersebut. Namun bagi yang hanya sebagian saja diantara kebaikan tersebut yang diamalkannya, tentunya ia hanya akan mendapatkan sebagianya saja, dan bagi yang tidak bisa mengendalikan pikiran hati dan juga anggota tubuh lainnya untuk kebaikan, maka ia hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja.

Nah, kembali kepada persoalan ampunan dan surga Tuhan yang hanya disediakan kepada orang-orang mutaqin, tentunya harus dapat kita amati dalamkehidupan nyata sekarang ini. Artinya bahwa orang yang muttaqin tentunya ada tanda tanda yang jelas tampak ke permukaan, dan yang disebutkan oleh Tuhan ialah mereka yang mau mendermakan atau berinfaq di jalan Allah, baik dikala sedang lapang ataupun saat berada dalam kesempitan rizki. Tanda muttaqin yang ini sesungguhnya memang sangat mudah untuk diucapkan, namun seringkali banyak diringgalkan atau tidak dipraktekkan dalam kenyataan.

Bahwa berinfak atau memberikan sebagian harta yang dititipkan oleh Tuhan kepada kita untuk kemudian kita salurkan kepada siapapun yang memerlukan atau untuk kepentingan Islam, merupakan perbuatan yang sangat baik dan dianjurkan, namun memang banyak yang tidak tertarik untuk mempraktekkannya, padahal balasan yang akan diberikan oleh Allah jauh sangat besar dan bahkan berlipat ganda ketimbang yang diinfakkan tersebut. Apalagi kalau kemudian kita lebih cermati lagi firman Tuhan tersebut, yakni berderma pada saat lapang dan juga pada saat sempit, tentu akan semakin berat bagi sebagian orang yang memang belum sepenuhnya menjadi muttaqin.

Jadi sangat jelas sesungguhnya tanda orang-orang muttaqin tersebut, yakni apabila seseorang tersebut mau berderma atau infaq, baik pada saat lapang dan mempunyai banyak harta, maupun pada saat sempit dan sangat membutuhkan harta tersebut, tetapi ia tetap mau berinfaq untuk kepentingan agama maupun menolong orang lain. Dan manusia seperti itulah yang nantinya akan mendapatkan ampunan dan juga surga Tuhan. Tetapi itu saja sesungguhnya belum cukup, karena itu baru merupakan sebagian tanda muttaqin, dan masih ada beberapa tanda lainnya, yakni mampu mengendalikan emosinya.

Tidak jarang orang terkadang mengumbar nafsu dan emosinya, sehingga pikiran sehatnya menjadi tertutup oleh kemarahannya tersebut. Akibatnya terkadang seseorang tersebut dapat melakukan berbagai hal yang tidak rasional, seperti merusak peralatan rumah tangga yang sangat diperlukan dalam kehidupannya sehari-hari, menampar dan menyakiti pihak lain, mengeluarkan kata-kata kotor dan sangat menyakitan pihak lain, dan lainnya. Sehingga orang yang bertqwa, sesungguhnya ialah mereka yang dapat mengendalikan emosi dan amarahnya, sehingga akan tetap tenang dan mengutamakan pertimbangan rasionya dalam menghadapi setiap masalah, termasuk masalah besar yang sangat mengganggu dan menyudutkan atau bahkan sangat menyakitinya sekalipun.

Tanda muttaqin lainnya yang tetap harus melekat dalam diri seseorang ialah mau dan mudah memberikan maaf kepada pihak lain yang bersalah kepadanya. Artinya seseorang yang tidak pernah menyimpan dendam dan sakit hati kepda siapapun, meskipun terhadap orang yang jelas-jelas menyakiti dan memperlakukan tidak manusiawi kepadanya, bahkan ia malah mendoakan agar orang tersebut menjadi sadar dan bisa berpikir dan bersikap baik, serta memberikan maaf kepadanya. Siap seperti memang sangat langka dan hanya orang-orang yang benar-benar muttaqin lah yang dapat menjalankannya dalam praktik. Dan kalau kita mau mendapatkan ampunan dan surga dari Tuhan tentunya harus dapat mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari kita. Karena sekali lagi Tuhan sangat menyukai orang seperti itu, yang selalu berbuat baik dan tidak pernak membalas kejelekan yang diterimanya, bahkan cara membalasnya selalu dengan mendoakan kepada Tuhan agar sadar dan berlaku baik, serta memaafkan.

Sementra tanda muttaqin lainnya yang juga tidak kalah pentingnya ialah mereka yang ketika melakukan perbuatan jelek atau maksiat atau berbuat aniaya terhadap diri mereka, lantas segera menyadarinya dan kemudian sesegera mungkin memohon ampunan kepada Allah, karena mereka tahu hanya Tuhanlah yang dapat memberikan ampunan atas perbuatan keji dan maksiat yang dilakukannya, dan yang terpenting ialah mereka kemudian menyadari dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.

Pada tanda muttaqin yang terakhir tersebut sesungguhnya ada kata kunci yang sangat perlu dicatat bahwa keterlanjuran mengerjakan sesuatu yang tidak baik atau maksiat tersebut, tidak akan terulang lagi, karena disitu ada kata terlanjr dan kemudian menyadari serta tidak akan mengulanginya lagi. Jadi kalau perbuatan maksiat tersebut selalu diulang ulang dalam kehidupan seseorang, maka hal tersebut tidak termasuk dalam kategori ciri dan tanda muttaqin. Artinya kalau seseorang mengerjakan maksiat lal memita ampun, dan pada suau waku diulanginya lagi dan memohon ampun lagi dan begitu seterusnya, tidaklah termasuk bagian dari tanda muttaqin.

Nah, orang orang yang dalam dirinya tercermin sifat-sifat sebagaimana yang saya sebutkan di atas, tentunya yang akan mendapatkan ampuna dari Tuhan dan juga akan berhak mendapatkan surga yang sangat luas sebagaimana diinformasikan oleh Tuhan sendiri. Untuk itu saya mengajak kepada siapapun untuk menghiasi diri kita dengan sifat-sifat terpuji tersebut, dengan tujuan agar kita benar-benar mendapatkan ampunan dari Allah SWT, dan sekaligus mendapatkan surganya. Kita sangat yakin kalau kita bisa berbuat demikian maka secara otomatis kehidupan dunia kita juga akan bernilai dan memberikan manfaat serta kemaslahatan kepada semua makhluk Tuhan.

TENTANG SURGA DAN NERAKA

Setiap berbicara mengenai persoalan yang berkaitan dengan spiritual, hamper dapat dipastikan selalu dikaitkan dengan kondisi akhir di alam kekal di akhirat nanti, yakni surga dan atau neraka. Dan pada umumnya, umat manusia mengetahui hal tersebut, meskpun pada awalnya sangat mungkin karena semacam "diintimidasi" secara terus menerus, sehingga memaksa mereka untuk meyakini kondisi tersebut. Namun demikian berkat "pemaksaan" yang demikian, toh pada akhirnya mereka dapat meyakini dengan kesungguhan hati dan pikiran tentang keadaan setalah manusia meninggal dunia. Apalagi kalau kemudian dikaitkan juga dengan Allah dan Nabi Muhammad yang membawa risalah.

Itulah sekedar gambaran umum tentang keyakinan kebanyakan manusia yang terlahir dalam lingkungan keluarga muslim yang berada di perdesaan. Tidak tabu memang, karena ada kalanya untuk memberikan keyakinan terhadap sesuatu yang benar sekalipun yang ditujukan kepada manusia pada umumnya, harus dengan cara yang sedikit "memaksa" dan "intimidasi". Meskipun demikian pada saatnya diantara sekian banyak manusia tersebut yang kemudian dapat meningkat keyakinanya menjadi sangat kuat dan bahkan didasarkan kepada kesadaran yang tinggi setelah melalui proses panjang melalui pengkajian dan penelitian serta perenungan.

Lain halnya dengan para muslim yang berkonversi dari keyakinan lain, biasanya bukan karena adanya "pemaksaan" atau "intimidasi" tersebut, melainkan karena kesadaran yang timbul dalam dri mereka setelah mengadakan penelaahan terhadap teks-teks suci al-Quran dan perenungan yang dalam terhadap kehidupan. Mereka pada umumnya berkesimpulan bahwa hanya Islamlah yang dapat dipercaya dalam hal informasi tentang alam ghaib dan sekaligus berbagai ajaran syariatnya yang begitu lar biasa.

Tentu dalam pandangan Islam, hal tersebut juga tidak lepas dari apa yang dinamakan "hidayah" dari Tuhan yang disampaikan kepada para hamba-Nya yang memang dikehendaki dan sekaligus menghendaki "hidayah" tersebut. Pandangan tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa ada orang yang secara lahir telah mengakui kebenaran syariat Islam, namun dalam kenyataannya masih tidak mau bergabung dengan saudaranya yang muslim. Nah, itulah pentgnya peraan "hidayah" tersebut dan bukan semata-mata didasarkan kesadaran untuk mengakui kebenaran sesuatu.

Biasanya, orang selalu mengaitkan kehidupan di dunia ini dengan kehidupan di akhirat nanti. Artinya siapapun yang taat dan berbuat baik, tentu pada akhirnya nanti akan dimasukkan kedalam surga, dan sebaliknya siapapun yang di dunia ini berkelakuan jelek, maka nantinya akan dimasukkan kedalam neraka. Pertanyaannya ialah amal baik yang seperti apa yang dapat mengantarkan seseorang masuk kedalam surga, dan begitu pula sebaliknya, amalan jelek apa yang dapat menyeret seseorang ke dalam neraka.

Pada umumnya kebanyakan umat Islam akan berpandangan bawa amal baik ialah seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan amal jelek ialah seluruh maksiat yang dilarang oleh Allah SWT. Pandangan tersebut memang tidak salah, namun terkadang masih ada keyakinan yang sedikit berbeda tentang amal baik tersebut; ialah apakah hanya amalan yang berkonotasi dengan keakhiratan semata, atau juga yang berkonotasi dengan kehidupan dunia. Masih ada diantara umat Islam yang meyakini bahwa amalan yang akan mengantarkan seseorang masuk surga ialah amalan yang berkaitan langsung dengan persoalan akhirat, sementara amalan baik yang hanya berkaitan dengan kehidupan duniawi tidak termasuk di dalamnya.

Akibat dari pandangan tersebut, sampai detik ini masih ada sebagia umat yang tidak peduli dengan persoalan duniawi, bahkan mereka masih membedakan antara beramal semisal menyumbang pembuatan masjid atau mushalla misalnya, akan berbeda nilainya dengan amal menyumbang pembuatan jembatan untuk kepentingan masyarakat banyak. Amal yang pertama akan dapat pahala untuk kepentingan akhirat, sedangkan amal kedua tidak akan berpengaruh. Saya sendiri tidak tahu apa penyebabnya, sehingga keyakinan sebagian umat Islam bisa menjadi seperti itu. Bukankah amal baik itu kriterianya ialah amalan yang dapatg memberikan manfaat bagi manusia lain? Dan bukan hanya yang memberikan manfaat bagi diri sendiri saja?.

Terkadang pemikiran sebagian umat tersebut juga sangat rancu apabila diingat bahwa pada sebagian amalan yang hanya memberikan manfaat bagi pihak lain diakui sebagai amalan baik yang mendapatkan pahala, karena hal tersebut secara eksplisit disebutkan dalam teks-teks agama, seperti memberikan makan kepada fakir miskin, memelihara anak yatim, dan lainnya. Namunn sekali lagi kalau amalan yang sesungguhnya baik, tetapi tidak terdapat dalam teks keagamaan, ternyata dianggap sebagai amalan yang tidak masuk kategori dapat pahala, semacam perbaikan saluran air, perbaikan jalan, pasar, dan lainnya.

Bahkan menjadi sangat lucu apabla diingat bahwa sebagian mereka juga membedakan antara membantu untuk pembangunan tempat pendidikan bagi anak-anak bangsa. Artinya kalau bantuan tersebut untuk sekolah madrasah yang dipastikan di sana akan diajarkan berbagai hal berkaitan dengan agama, maka dianggap akan termasuk amal baik, tetapi kalau yang dibantu tersebut sekolah umum semisal sekolah dasar atau sekolah menengah, misalnya, maka mereka menganggap bahwa itu tidak termasuk amal baik yang dapat menghasilkan pahala. Inilah yang maksudkan dengan kerancuan pemikiran dan keyakinan mereka.

Kiranya sudah saatnya umat Islam, khususnya para tokoh dan ulama untukmenyadarkan umat dan memberikan pencerahan kepada mereka tentang persoalan tersebut. Saya sangat yakin bahwa kalau umat dapat diyakinkan dalam masalah tersebut, kehidupan mereka dan perhatian mereka terhadap kehidupan dunia ini akan semakin baik. Pada umumnya mereka sangat tidak tertarik dengan urusan yang hanya bersifat duniawi, karena dianggapnya tidak akan dapat memberikan pahala sebagai investasi akhirat. Lain halnya dengan perhatian mereka terhadap persoalan yang dengan jelas diinformasikan oleh agama, seperti masjid dan lainnya, karena yang demikian dianggap mereka akan dapat mengantarkan ke surga dan menjauhkan mereka adri neraka.

Surga dan neraka merupaka dua tempat yang sangat berbeda di alam akhirat nanti. Surga merupakan tempat dan kondisi sangat menyenangkan dan membahagiakan, serta penuh dengan segala kenikmatan tidak terbatas bagi para peghuninya, tetapi sebaliknya, neraka merupakan tempat serta kondisi yang sangat menyedihkan dan penuh dengan siksaan dan penderitaan. Penggambaran secara umum seperti itu memang banyak terdapat di dalam teks-teks keagamaan yang dapat kita lihat. Namun peggambaran yang lebih detail dan bahkan terkesan "keterlaluan" biasanya diberikan oleh para ulama dalam tulisan-tulisan mereka, baik yang kemudian dimasukkan kedalam tafsir maupun buku khusus yang berbicara masalah keadaan setelah meningal.

Surga terkadang digambarkan sebagai tempat yang sangat nyaman dan sama sekali tidak ada problem yang dapat mengganggu konsentrasi penghuninya. Seluruh kenikmatan, baik yang ketika di dunia ada maupun yang belum terpikirkan pun ada. Bahkan menurut salah sebuah riwayat, bahwa penggambaran surga dengan seluruh kenikmatannya itu disebutkan sebagai sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata manusia, belum pernah didengar olrh telngan manusia, dan bahkan sama sekali belum pernah terlintas dalam benak manusiapun.

Penggambaran kenikmatan surga tersebut tentu sesuai dengan selera penafsirnya, kalau mereka cenderung dengan kenikmatan biologis, maka mereka akan menggamarkan bahwa di surga nanti akan ada banyak bidadari yang siap untuk melayani para penghuninya tanpa ada rasa jemu dan lelah. Kalau penafsirnya cenderung dengan kenikmatan yang berkaitan dengan makanan dan minuman, mereka akan menggambarkan bahwa di surga nanti akan terdapat seluruh jenis makanan dan minuman yang sangat lezat, dan bahkan termasuk makanan yang ketika di dunia dilarang pun di surga tersedia yang dihalalkan, dan begitu seterusnya.

Sementara itu penggambaran tentang neraka tentu akan berbeda 180 derajat. Artinya neraka itu merupakan tempat penyiksaan yang sangat mengerikan, dan kondisinya juga bertingkat. Ada penyiksaan yang sangat mengerikan, seperti meminum air mendidih yang dapat melelehkan seluruh tubuhnya, lalu kembali lagi dan begitu seterusnya. Ada yang dipotong lidahnya, terutama bagi mereka yang suka au domba dan mencaci maki kawannya. Ada yang kemaluannya di tembus dengan besi membara, khususnya bagi para penzina, dan seterusnya.

Pendeknya, keyakinan tentang keadaan surga dan neraka yang digambarkan seperti tersebut telah mewarnai keyakinan umat Islam, dan hal tersebut menurut saya justru lebih baik dalam upaya untuk memberikan alternatif pilihan kepada mereka, terutaa dalam emmpersiapkan diri mereka menghadapi akhirat. Namun sekali lagi yang harus diberikan kepada mereka ialah pencerahan tentang amal baik yang dapat mengantarkan kepada mereka ke surga dan menjauhkan mereka dari siksa neraka. Jangan sampai mereka akan selalu menganggap bahwa amal baik tersebut hanya yang berkaitan dengan ibadah dan sedekah semata, tetapi seharusnya disampaikan kepada mereka bahwa seluruh aktifitas positif yang dapat memberikan menfaat dan membuat maslahat bagi makhluk Tuhan, harus dimasukkan ke dalam pengertian amal shalih.

Demikian juga tentang amal jelek yang akan menggiring ke dalam neraka, kiranya juga harus dirumuskan secara jelas, termasuk yang saat ini dianggap remeh, seperti korupsi, baik dalam dataran yang tinggi maupun rendah, seperti korupsi waktu dan lainnya. Ini semua dalam upaya memberikan penceraan kepada umat yang diharapkan mereka akan lebih dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam berinvestasi akhirat, tetapi juga sekaligus dapat memberikan manfaat di dunia nyata saat ini. Dengan begitu maka keinginan untuk hasanah fiddun-ya dan hasanah fil akhirah dapat diraih secara bersamaan. Semoga.